BAB
I PENDAHULUAN
A.
Kata Pengantar
Perjalanan bangsa Indonesia dalam naungan kemerdekaan setelah Proklamasi 17
Agustus 1945 begitu tragis. Lelah, sakit, penderitaan rakyat belum bisa hilang
dari setiap detiknya walaupun setelah tanggal itu pula katanya Indonesia
mengikrarkan sebagai Negara yang sudah merdeka. Merdeka bukan saja bebas dari
kolonial penjajah. Merdeka lahiriah dan batiniah adalah kemerdekaan yang
hakiki. Dari sekian penderitaan intinya bangsa ini belum 100% merdeka. Perlu
kita pahami bersama dan perlu kita renungkan adalah nasib rakyat yang kian
terpuruk.
Penderitaan rakyat adalah wujud dari ketidakberhasilan pemerintah dari mulai
Negara ini mengikrarkan kemerdekaannya sampai detik ini. Dengan mata telanjang
saya bisa membaca alur drama ini, yaitu penderitaan rakyat disebabkan karena
pemerintah masih kurang konsisten menentukan sistem pemerintahannya sehingga
masalah rakyat dilupakan karena penguasa masih sibuk memikirkan sistem.
Ironisnya sitem tersebut sebetulnya sudah dikaji dan ditetapkan jauh hari
sebelum negeri ini merdeka. Entah kenapa negeri ini ! Dosa apa yang pernah
dilakukan negeri ini ! Apa negeri ini dzolim di saat menentukan konstitusinya !
Apa memang mental pemimpin belum teruji atau ! Apa ini takdir ilahi ! tapi ini
semua bisa berubah kalau ada niat menuju kepada perubahan.
B. Latar Belakang Masalah
Jati diri suatu bangsa bukan saja dapat kita lihat dari bagaimana karakter
pokok dari para warga bangsa, tetapi juga dari pilihan ideologi dan sistem
pemerintahan yang dipilih oleh bangsa tersebut. Topik yang hendak saya bahas
pada makalah ini adalah sistem pemerintahan demokratis-konstutusional
bagaimanakah yang telah dirancang oleh the founding fathers dalam UUD 1945?
Masalah sistem pemerintahan tersebut saya pandang perlu kita wacanakan kembali
karena selama ini pemahaman kita tentang bentuk dan susunan pemerintahan negara
hanyalah didasarkan pada sumber-sumber sejarah yang diragukan keotentikannya.
Setelah MPR-RI 1999-2004 melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali dalam
kurun waktu 2 tahun dan menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai
sistem pemerintahan negara, perlu kita pertanyakan apakah sistem pemerintahan
presidensial tersebut yang ditetapkan oleh pimpinan dan anggota BPUPK dan PPKI
yang kemudian disahkan sebagai UUD 1945, Konstitusi Pertama NKRI? Kalau
konstitusi suatu negara dapat diibaratkan sebagai rel yang akan membawa bangsa
tersebut ke tujuan yang dicita-citakannya, apakah cita-cita para pendiri Negara
bangsa untuk membentuk pemerintahan negara konstitusional yang demokratis serta
yang sesuai dengan corak hidup bangsa dapat tercapai apabila rel tersebut
setiap kali diubah arahnya dan dibelokkan? Kondisi itulah yang sedang dialami
bangsa Indonesia saat ini setelah MPR mengadakan amandemen terhadap UUD 1945.
Maka lebih simple lagi bisa dikatakan berbagai macam gaya sistem pemerintahan
sudah diterapkan di Indonesia ini, namun hasilnya sangat tidak memuaskan karena
rel sudah berbelok arah ( sistem yang dirancang oleh the founding father dalam
UUD 1945).
C. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan merumuskan berbagai permasalahan yang hendak
dibahas yaitu tentang masalah KOREKSIAN SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA .
Permasalahan yang amat simple tapi membawa saya berdecak kagum karena teori
yang ada di kelas( waktu kuliah) sebagai orang yang baru belajar Sitem
Pemerintahan, dan Hukum Tata Negara, serta Ilmu Negara pada semester pertama.
Teori yang digunakan oleh bangsa ini sangat aneh yang hal tersebut mengundang
pertanyaan bagi saya yang hampir satu semester ini mengikuti mata kuliah Sistem
Pemerintahan Indonesia, apakah teori-teori tersebut dampak dari krisis
multidimensional yang ada atau orang-orang yang duduk di parlemen atau
penguasa, tidak pernah belajar teori-teori ilmu Negara atau bahkan tidak memahami,
atau para penguasa yang mengamandemen UUD 1945 tidak memahami konsitusi? Karena
memahami konstitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal
pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya
serta konteks sejarah yang melingkunginya.
BAB
II PEMBAHASAN
Teori Sistem Pemerintahan
Sejak abad pertengahan para ahli politik telah berusaha menyusun klasifikasi
bentuk-bentuk pemerintahan demokratis, tapi baru sebatas diskusi tentang sistem
parlementer dan sistem presidensial. Dalam bukunya yang amat berpengaruh
„TheAnalysis of Political Systems“, Verney (Routledge & Kegan Paul, 1979),
menguraikan dua sistem pemerintahan yang paling popular dan paling banyak
digunakan di Negara-negara konstusional demokratis. Dalam diskusi ilmiah
tentang sistem pemerintahan, Inggeris selalu dipandang sebagai contoh
pemerintahan parlementer, dan Amerika Serikat sebagai model pemerintahan
presidensial. Duverger (EJPR, 8/2, Juni 1980). Kemudian memperkenalkan bentuk
pemerintahan ketiga, Sistem semipresidensial, dan Blondel (Kavanagh dan Peele,
Eds., London, Heinemann, Boulder, 1984) memperkenalkan system semipresidensial
ganda (semi-presidential dualist system semipresidensial ganda
(semi-presidential dualist system ) Dari ketiga sistem tersebut dimana letak
sistem pemerintahan Indonesia?
1.
Sistem Parlementer
Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggeris tidak mengenal pemisahan
kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Pada abad XVI sebagai reaksi
terhadap kekuasaan Raja James I yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan
parlementer diawali dengan berdirinya lembaga perwakilan rakyat (assembly) yang
secara bertahap mengambil alih kekuasaan legislatif dari tangan Raja. Tetapi,
kekuasaan eksekutif tetap berada pada Raja. Dalam perkembangan selanjutnya,
kekuasaan eksekutif Raja mulai diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat
dari antara anggota-anggota badan perwakilan. Karena para menteri harus
betanggunjawab kepada badan perwakilan, lambat laun kekuasaan badan perwakilan
bertambah besar dan ditetapkan sebagai pemegang kedaulatan negara. Para menteri
secara kolektif, atau Kabinet, harus betanggungjawab kepada badan legislatif
dan adalah bagian dari badan tersebut. Karena itu dalam sistem parlementer
tidak ada seperation of power, tetapi yang ada adalah fusion of power antara
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif. Dengan kata lain, sistem
parlementer adalah sistem politik yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemengang kedaulatan rakyat yang
bernama Parlemen.
Pada sistem parlementer cabang eksekutif dipimpin oleh Kepala Negara, seorang
Raja dalam negara monarki konstitusional atau seorang Presiden dalam republik,
dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Pemerintahan ditunjuk
oleh Kepala Negara dan para menteri diangkat oleh Kepala Negara atas usul
Kepala Pemerintahan, Kabinet, yang terdiri dari Perdana Menteri dan para
menteri, adalah lembaga kolektif, karena perdana menteri adalah orang yang
pertama dari sesama (primus inter pares) sehingga tidak dapat memberhentikan
seorang menteri. Tapi dalam kenyataannya perdana menteri selalu memilki
kekuasaan yang lebih besar dari para menteri. Perdana menteri dan para menteri
biasanya adalah anggota parlemen dan secara kolektif bertanggungjawab kepada
badan legislatif. Pemerintah atau kabinet secara politis bertanggungjawab
kepada parlemen. Untuk menghindarkankekuasaan legislatif yang terlalu besar
atau diktatorial partai karena mayoritas partai yang terlalu besar, kepala
pemerintahan dapat mengajukan usul kepada kepala negara untuk membubarkan
parlemen.
Salah satu karakteristik utama sistem parlementer yang tidak dimiliki oleh
sistem presidensial adalah kedudukan parlemen sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi di atas badan perwakilan dan pemerintah (supremacy of parliament).
Dalam sistem parlementer pemerintah tidak berada diatas badan perwakilan, dan
sebaliknya badan perwakilan tidak lebih tinggi dari pemerintah. Karena perdana
menteri dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh rakyat, pemerintah
parlementer hanya bertanggungjawab secara tidak langsung kepada pemilih. Karena
itu, dalam pemerintahan parlementer tidak dikenal hubungan langsung antara
rakyat dengan pemerintah. Hubungan itu hanya dilakukan melalui wakil-wakil yang
dipilih oleh rakyat. Parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang
merupakan pusat kekuasaan dalam sistem politik harus selalu mengusahakan agar
tercapai dinamika hubungan politik yang seimbang antara badan legislatif dan
badan eksekutif. Dalam parlemen inilah kader-kader pimpinan bangsa ditata /
dibentuk sebelum suatu hari mendapat kesempatan menjadi pemimpin Negara. Dari
uraian tersebut di atas dapat diuraikan antara legislatif dan eksekutif
memiliki hubungan yang erat dalam sebuah parlementer yang menghasilkan
supremasi parlementer dan induknya adalah Iggris.
Ciri-cirinya adalah :
1. Terdapat
sekelompok eksekutif dalam menjalankan pemerintahan yang
bertanggung jawab baik secara perseorangan
maupun bersama-sama.
2. Adanya kerja sama antara eksekutif dan
legislatif. Legislatif dapat menyampaikan
mosi tidak percaya kepada eksekutif dan
sebaliknya.
3.
Kepala Negara hanya simbol pemersatu (pemerintahan terletak pada Perdana
menteri dan menteri-menterinya).
2. Sistem Presidensial
Tentang pemerintahan presidensial biasanya tidak selalu dikaitkan dengan teori
pemisahan keuasaan (seperation of powers) yang amat populer pada abad XVIII
ketika Konstitusi Amerika Serikat disusun. Dua ahli politik yang amat
berpengaruh pada masa itu adalah John Locke yang terkenal dengan pandangannya
bahwa konflik berkepanjangan antara raja Inggris dengan parlemen adalah dengan
memisahkan secara tegas raja sebagai kekuasaan eksekutif dengan badan
perwakilan sebagai kekuasaan legislatif. Kedua kekuasaan itu harus dipisahkan
dengan tegas dan masing-masing mempunyai bidang kekuasaan masing-masing.
Montesquieu, seorang pengamat sistem pemerintahan Inggris asal Prancis,
ternyata membuat kesimpulan yang salah, dan menyimpulkan bahwa sistem parlementer
Inggris adalah amat baik karena memisahkan kekuasaan negara menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan seperti itulah yang disebutnya
trias politica, yang selama 2 abad masih dipandang sebagai bentuk pemisahan
kekuasaan yang paling baik dan benar. Trias politica ini digunakan oleh Pasca
Amandemen UUD 1945 yang dibentuk MPR sebagai landasan teoritis ketika melakukan
perubahan terhadap sistem pemerntahan negara Indonesia sebagaimana ditetapkan
pada Pasal 1 ayat (2). Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan didorong
oleh keinginan yang kuat untuk menentang sistem parlementer yang dipandang
sebagai budaya Negara kolonial Inggris, sistem presidensial Amerika memisahkan
secara tegas tiga cabang kekuasaan.
Karena itu karakteristik pertama sistem presidensial adalah badan perwakilan
tidak memiliki supremacy of parliament karena lembaga tersebut bukan lembaga
pemegang kekuasaan negara. Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial,
presiden dipilih, baik secara langsung atau melalui perwakilan, untuk masa
kerja tertentu, dan presiden memengang sekaligus jabatan Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala
eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, yang
berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam
bidang masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak bertanggungjawab
secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggungjawab secara individual
kepada presiden. Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak
boleh merangkap jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif
tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif.
Namun, pemisahan personalia cabang eksekutif dan legislatif tidak selalu
diterapkan disemua negara yang menggunakan sistem presidensial. Di beberapa
negara menteri diangkat sebagai anggota parlemen. Pada pemerintahan Orde Baru,
para anggota Kabinet juga adalah anggota MPR, lembaga pemegang kedaulatan
negara yang lebih kurang sama dengan parlemen dalam sistem parlementer.
Presiden bertanggungjawab bukan kepada pemilih, tetapi kepada Konstitusi. Dia
dapat di-impeach apabila melangar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan
karena tidak dapat memenuhi janjinya pada kampanye pemilu. Presiden dan badan
perwakilan rakyat mempunyai kedudukan yang setara, karena itu tidak dapat
salaing menjatuhkan. Dalam bahasa UUD 1945, Presiden adalah „neben“ bukan
„geordenet“ dari DPR, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Dalam teori,
sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu cabang kekuasaan
terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan, legislatif,
eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya sesuai
dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the
constitution. Cuma, dalam praktek, legislatiflah yang nyatanya memegang
kekuasaan lebih tinggi.
Ciri-ciri sistem ini :
1. Presiden pemegang kekuasaan tertinggi
2. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden
3.
Presiden memegang masa jabatan secara tertentu kecuali ada tindakan
amoral
3. Sistem Semipresidensial
Sistem semi-presidensial adalah bentuk pemerintahan negara yang mencoba
mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer maupun sistem presidensial.
Kelemahan pokok sistem parlementer ialah sifatnya yang sangat tidak stabil
karena setiap saat pemerintah, baik seluruh kabinet maupun setiap menteri,
dapat menerima mosi tidak percaya dari parlemen. Akibatnya pemerintah jatuh dan
terjadi pergantian pemerintah. Selama 4 tahun menggunakan sistem parlementer,
Indonesia mengalami pergantian pemerintah sebanyak 33 kali (Feith, 1962).
Sistem presidensial mengandung kecenderungan konflik permanen antara cabang
legislatif dan cabang eksekutif, terutama bila presiden terpilih tidak didukung
oleh partai mayoritas yang berkuasa di parlemen. Padahal negara-negara baru
yang tradisi demokrasinya belum terkonsolidasi dengan mantap selalu menghadapi
kondisi seperti ini. Selain itu, kekuasaan yang besar ditangan presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif tunggal, selalu menggoda presiden untuk
memperpajang masa jabatannya, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan
otoriter. Ekses seperti itu dialami oleh banyak negara di Amerika Latin, Afrika
dan Asia termasuk Indonesia yang menggunakan sistem presidensial.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan kedua sistem tersebut, pada awal Abad 20
berkembang model ketiga sistem pemerintahan yang oleh Duverger disebut sistem
semi-presidensial. Sistem politik ketiga ini memiliki beberapa karakteristik
sistem parlementer dan sistem presidensial.
Ciri utama sistem semipresidensial adalah sebagai berikut:
1.
Pusat kekuasaan berada pada suatu majelis perwakilan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi.
2. Penyelenggara kekuasaan legislatif adalah suatu
badan perwakilan yang
merupakan bagian dari majelis perwakilan
3.
Presiden dipilih secara langsung atau tidak langsung untuk masa jabatan
tertentu
dan
bertanggungjawab kepada majelis perwakilan
4. Para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat
dan diberhentikan oleh
presiden.
Kalau kita perhatikan uraian yang diberikan oleh Dr. Sukiman pada rapat BPUPK
pada tanggal 15 Juli 1945 dan keterangan Prof. Soepomo pada rapat PPKI tanggal
18 Agustus 1945 beberapa saat menjelang pengesahan UUD 1945, jelas sekali
sistem pemerintahan negara Indonesia yang diikuti oleh UUD 1945 pertama
Indonesia tersebut adalah sistem semipresidensial.. Sekarang model tersebut
semakin populer dan digunakan di banyak negara, karena dipandang sebagai bentuk
pemerintahan demokratis yang lebih stabil dan lebih efektif di negara yang
memiliki multi partai politik.
4. Sistem “Pemerintahan Sendiri”
Sejak UUD 1945 diberlakukan pada 18 Agustus 1945, konstitusi pertama tersebut
telah ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemerintah yang menjalankannya.
Antara 1945 sampai 1949 dan antara 1959 sampai 1966, UUD 1945 telah
dilaksanakan dengan beberapa modifikasi dalam susunan pimpinan pemerintahan
negara. Indonesia pernah menggunakan dual-executive sistem, dengan Presiden sebagai
Kepala Negara dan perdana menteri sebagai Kepala Pemerintahan. UUD 1945 yang
sama pernah ditafsirkan sebagai single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal
4 sampai 15 dan Presiden menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala
Pemerintahan.
Antara 1966 sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik
dengan konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too strong presidency).
Sejak 2002, dengan berlakunya UUD 1945 hasil amandemen, berlaku sistem
presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan
sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi
badan bi-kameral dengan keuasaan yang lebih besar (strong legislative). Antara
1949 sampai 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang
terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahn yang amat diperlukan
untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian
kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).
Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia,
adalah upaya untuk mengadakan penataan kembali berbagai aspek kehidupan
masyarakat di bidnag politik, ekonomi, hukum dan sosial. Tujuan utama gerakan
reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan demokratisasi kehidupan
politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama
reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk
meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan
rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih
efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara
pemerintah pusat dan pemrintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and
balances dalam proses politik.
Sebetulnya Gerakan Reformasi tersebut merupakan momentum yang amat baik bagi
MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengadakan amendemen UUD
1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat menjamin
kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut tidak
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD 1945 telah
menghasilkan sistem pemerintahan baru, Sistem Presidensial, yang menyimpang
dari bentuk dan susunan negara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats
fundamental norm sistem pemerintahan Indonesia.
Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 1945,
hasil amandemen tahun 2002 bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam
hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan
mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya
secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai
mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan
karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang
lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem
pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan
Kusuma, FH-UI, 2004).
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem
pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan
tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ( amandemen ). MPR tidak
lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga
pemegang kedaulatan negara tertinggi.
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan
karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental
norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan
UUD 1945.
Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar
baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa ini semakin
dekat dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan
konstitusional yang demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan
negara?
Apakah sistem pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para
perancang konstitusi seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin
kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?
Ternyata tafsiran Pasca Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang sistem
pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang
Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap
rapat rapat BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang
terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip
AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan para founding fathers
tentang sistem pemerintahan negara.
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan
kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum
U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945”
terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut
memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang
dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia. Notulen rapat-rapat BPUPKI
dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa
mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan.
Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung
Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris
untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica ala Montesqieue bukanlah
sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan
rakyat.
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai
kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer
seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme.
Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas.
Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena
kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif.
Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota
parlemen.
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru
merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem
presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif –
eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum
masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti
dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat demokrasi.
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“, sistem yang
mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut Sistem
Semi-Presidensial. Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para
perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem
parlementer. “SISTEM SENDIRI” tersebut mengenal :
1. Pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang
legislatif dan eksekutif, yang
masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan,
2. Presiden adalah eksekutif tunggal yang
memegang jabatan selama lima tahun dan
dapat diperpanjang kembali,
3. Para menteri adalah pembantu yang diangkat dan
bertanggungjawab kepada
presiden.
Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat
tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum
tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara
tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR Presiden yang
menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah
unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils).
1. Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR,
sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan
Presiden.
2. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun
undangundang.
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus
1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari
seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan
geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat
yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam
masyarakat. Dengan kata lain,MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan
lembaga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai
dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan
demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta
menyebutnya sebagai ciri Demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan
negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang
tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative
councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai
kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR. Konfigurasi MPR sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri
khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari
sistem-sistem yang ada.
Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai
dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lembaga
permusyawaratan perwakilan. Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik
tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja MPR,
ketika mengadakanamandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas
tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau
pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem
pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut
dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan
penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara
yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin
terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR
adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan
eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan
legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan
kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR
dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer
maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung
keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu
menciptakan pemerintahan Negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan
efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para
perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik,
serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem
presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara
gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara
Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering
gagal karena konflik eksekutif – legislative kemudian berkembang menjadi
constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk
negara baru.
Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan
para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman
mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan
didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di
dunia.
Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945,
beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang
sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang
konstitusi:
“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini.
Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam
suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang
kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas
kekuasaannya. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan
rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan
itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Maka Majelis Permusyawaratan
Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara …
Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan
negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang
bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk
Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif … „
Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan
pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai
pada sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem
presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas
yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“.
Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut
Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda
(semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden
sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua,
untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada
pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para
perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya.
Kesimpulan
Mobilisasi Tuntutan Untuk Pemurnian UUD 1945
Sekarang semakin jelas bukti-bukti yang menujukkan bahwa amandemen sistem
pemrintahan negara Indonesia yang dilakukan oleh MPR telah meyimpang dari
rancangan asli para perumus konstitusi yang berlandaskan pada kaidah dasar
Negara kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat, serta penyelenggaraan
demokrasi sosial ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial, sebagaimana dicantumkan
pada Pembukaan UUD 1945.
Karena itu tujuan reformasi untuk meluruskan dan memurnikan pelaksanaan UUD
1945 dapat dipastikan tidak akan tercapai bila tidak dilakukan upaya-upaya
pemurnian kembali UUD 19945 sesuai dengan staats fundamental norm nya yang
semula. Karena itu salah satu agenda pokok yang perlu dilakukan oleh Presiden
terpilih ( 2009 ) setelah pelantikan adalah mengambil langkah-langkah untuk
mengembalikan kemurniaan UUD 1945 sesuai dengan kaidah fundamentilnya.
Pemurnian UUD 1945 agaknya tidak mungkin dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 2004
karena MPR yang bi-kameral tersebut bukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Salah satu langkah konstitusional yang dapat ditempuh adalah meminta
persetujuan rakyat untuk memurnikan UUD 1945 melalui referendum. Terakhir dapat
saya pastikan ketika sitem pemerintahan yang ada sekarang yaitu presidensial
tidak berhasil pasti sistem pemerintahan Indonesia akan berganti lagi dan nasib
rakyat pasti diabaikan.
BAB
III PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakartra,
Mahkamah Konstitusi Indonesia dan PSHTN, Fakultas Hukum, Univesitas Indonesia,
2004.
Bahegot, Walter, The English Constitution: The Cabinet. London, Oxford
University Press, 1961.
Blondel, Jean, “Dual Leadership in the Contemporary World”, dalam Dennis
Kavanagh dan Geene Peele, eds., Comparative Government and Politics: Essays in
Honour of
Chicago: Rand McNally, 1972. Duverger, Maurice, ‘A New Political System Model:
Semi-presidential Government’,European Journal of Political Research, 8/1,
June, 1982.
Effendi Sofian, ” Mencari system pemerintahan indonesia Makalah disamapaikan
pada Dies Natalis Universitas Pancasila yang ke 40 dan Upacara Wisuda Semester
Genap Tahjun Akademik 2006/2007. , 11-12 Juli 2006.
Feith, Herbert, The Decline of Constitutinal Democracy in Indonesia. Ithaca,
N.Y.,Cornell Unversity Press, 1962.
Imawan, Riswanda, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari
Jati Diri. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2004
Kusuma, Ananda B., Lahirnya UUD 1945. Jakarta, Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, 2004.
Saefuddin, “ Bentuk pemerintahan “ disampaikan pada tatap muka mata kuliah ilmu
Negara kelas F, 3 januari 2008 UII yogyakarta
Sekretariat Negara R.I., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan(BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei – 22
Agustus 1945. Jakarta, Sekretariat Negara R.I., 1998