Rangkuman
Cara Memperoleh Harta Dalam Islam
Jial Beli
Hibah
Wasiat
Warisan
Menghidupkan
Tanah Mati
Ijarah
Mudharabah
Tukar menukar
Pertambangan
Berburu
CARA
MEMPEROLEH HARTA
DALAM ISLAM
1. Jual beli
a.
Pengertian :
Muamalat
adalah tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat dengan tata
cara yang ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual beli, hutang piutang,
pemberian upah, serikat usaha, urunan atau patungan, dan lain-lain.
Jual beli
adalah suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tata cara
tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar
seperti uang.
b.
Rukun Jual Beli :
1)
Ada
penjual dan pembeli yang keduanya harus berakal sehat, atas kemauan sendiri, dewasa/baligh
dan tidak mubadzir alias tidak sedang boros.
2)
Ada
barang atau jasa yang diperjualbelikan dan barang penukar seperti uang, dinar
emas, dirham perak, barang atau jasa. Untuk barang yang tidak terlihat karena
mungkin di tempat lain namanya salam.
3)
Ada
ijab qabul yaitu adalah ucapan transaksi antara yang menjual dan yang membeli
(penjual dan pembeli).
c.
Larangan Dalam Jual Beli
1)
Membeli
barang di atas harga pasaran
2)
Membeli
barang yang sudah dibeli atau dipesan orang lain.
3)
Memjual
atau membeli barang dengan cara mengecoh/menipu (bohong).
4)
Menimbun
barang yang dijual agar harga naik karena dibutuhkan masyarakat.
5)
Menghambat
orang lain mengetahui harga pasar agar membeli barangnya.
6)
Menyakiti
penjual atau pembeli untuk melakukan transaksi.
7)
Menyembunyikan
cacat barang kepada pembeli.
8)
Menjual
barang dengan cara kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan.
9)
Menjual
atau membeli barang haram.
10)
Jual
beli tujuan buruk seperti untuk merusak ketentraman umum, menyempitkan gerakan
pasar, mencelakai para pesaing, dan lain-lain.
d. Kesempatan Meneruskan/Membatalkan Jual Beli (Khiyar)
Arti
definisi/pengertian Khiyar adalah kesempatan baik penjual maupun pembeli untuk
memilih melanjutkan atau menghentikan jual beli. Jenis atau macam-macam khiyar
yaitu :
1)
Khiyar majlis adalah pilihan menghantikan atau melanjutkan jual
beli ketika penjual maupun pembeli masih di tempat yang sama.
2)
Khiyar syarat adalah syarat tertentu untuk melanjutkan jual beli
seperti pembeli mensyaratkan garansi.
3) Khiyar aibi adalah pembeli
boleh membatalkan transaksi yang telah disepakati jika terdapat cacat pada
barang yang dibeli.
e. Jual Beli Barang Tidak Terlihat (Salam)
Salam adalah penjual menjual sesuatu yang tidak terlihat / tidak di
tempat, hanya ditentukan dengan sifat danbarang dalam tanggungan penjual. Rukun
salam sama seperti jual beli pada umumnya.
Syarat Salam :
Syarat Salam :
1)
Pembayaran dilakukan di muka pada majelis akad.
2)
Penjual hutang barang pada si pembeli sesuai dengan kesepakata.
3)
Brang yang disalam jelas spesifikasinya baik bentuk, takaran,
jumlah, dan sebagainya.
f.
Hukum
- Hukum Jual Beli
1)
Haram :
Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau
melakukan larangan jual beli.
2)
Mubah :
Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
3)
Wajib :
Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti
menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.
g.
Dasar
Hukum Jual Beli
1) Surat Al Baqarah ayat 275 :
Artinya: “Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”
2)
Q.S.
an-Nisa Ayat 29 :
Artinya: “…kecuali
dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka diantara kamu…”
3)
Hadist
riwayat Ibnu Majjah :
Artinya:
“…Jual beli itu hanya suka sama suka oleh karena kesukaan itu adalah termasuk
perkara yang tersembunyi tidak dapat di amati maka wajiblah ketergantungan
hokum dengan cara-cara yang nampak yang menunjukkan suka sama suka yaitu ucapan
penyerahan dan penerimaan.”
h.
Syarat
Jual Beli
1) Orang
yang melakukan transaksi jual beli harus berakal dan dewasa /mumayiz yaitu
sudah dapat membedakan baik dan buruk.
2) Kalimat
jual beli harus di ungkapkan dengan ungkapan masa lalu.
3) Barang
yang di perjual belikan harus punya nilai dan di tetapkan waktu penyerahannya.
4) Penjual
dan pembeli harus suka sama suka.
5) Transaksi
jual beli itu harus berlaku yaitu harus sama-sama ada hak kepemilikan dan hak
penguasaan.
i.
Rukun
Jual Beli
1) Bai’ ialah
orang yang menjual barang (Penjual)
2) Mustari ialah
orang yang membeli barang (Pembeli)
3) Sighat ialah
pelaksanaan ijab dan Qabul
4) Ma’qul ‘alaih ialah benda atau
barang yang akan di
5)
perjual
belikan
2. Hibah
a.
Pengertian
·
Secara umum
hibah dapat diartikan memindahkan kepemilikan barang kepada orang lain ketika
masih hidup.
·
Secara khusus
adalah pemindahan kepemilikan suatu benda yang bukan suatu kewajiban pada orang
lain ketika masih hidup dengan ījāb dan qabūl tanpa mengharapkan pahala atau kerena
menghormati dan juga bukan karena menutupi kebutuhan.
·
Biasanya pemberian-pemberian tersebut
tidak akan pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu,
oleh kerena pada dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa
untuk memberikan harta bendanya kepada siapa pun.
·
Sebenarnya hibah ini tidak termasuk materi
hukum waris melainkan termasuk hukum perikatan yang diatur di dalam Buku Ketiga
Bab kesepuluh Burgerlijk Wetboek (BW).
·
Di samping itu, salah satu syarat dalam
hukum waris untuk adanya proses pewarisan adalah adanya seseorang yang
meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Sedangkan dalam
hibah, seseorang pemberihibah itu masih hidup pada waktu pelaksanaan pemberian.
·
Berkaitan dengan hibah ini, terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1)
Hibah yaitu perjanjian sepihak yang
dilakukan oleh penghibah ketika hidupnya untuk memberikan sesuatu barang dengan
cuma-cuma kepada penerima hibah.
2)
Hibah harus dilakukan antara orang yang
masih hidup;
3)
Hibah harus dilakukan dengan akta notaris,
apabila tidak dengan akta notaris, maka hibah batal.
b. Rukun Hibah
Ibnu Rusyd
dalam kitabnya Bidāyatul Mujtahid
meyebutkan bahwa rukun hibah ada
tiga yaitu :
1) Orang yang
menghibahkan atau al-wāhib
2) Orang yang
menerima hibah atau al-mawhūb lah
3) Pemberiannya
atau perbutan hibah atau disebut juga dengan al-hibah.
c.
Syarat
hibah
1)
Syarat
pemberi hibah (al-wāhib)
Menurut Ulama’ Hanfiyah syarat al-wāhib sebagai
berikut:
a) Orang merdeka
b) Orang yang
mempunyai akal yang sehat (tidak gila)
c) Orang yang
telah dewasa dan mampu untuk membelanjakan harta
d)
Pemberi hibah adalah pemilik dari harta yang akan
dihibahkan
2)
Syarat
Penerima Hibah (al-mawhub lah)
a) Orang
yang mempunyai hak untuk memiliki barang.
b) Al-mawhub
lah haruslah benar-benar ada pada saat hibah dilakukan.
c) Jika
al-mawhub lah dalam kondisi masih kecil atau gila, maka yang menerima hibah
adalah Walinya.
3)
Syarat
barang yang dihibahkan (al-mawhub)
a) Barang yang benar-benar ada dan mempunyai nilai.
b) Penghibaan
barang yang belum menjadi milik wāhib menjadi batal.
c) Barang yang dihibahkan haruslah barang yang dapat dimiliki
zatnya, diterima peredarannya.
d)
Kepemilikan
barang tersebut dapat dialihkan, dapat dipisahkan dan dapat diserahkan kepada penerima hibah (al-mawhūb lah)
3. Wasiat
a.
Pengertian
Perkataan
wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was-sha. Artinya
menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dsb. Adapun pengartiannya
menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau
disampaikan dengan tulisan oleh seseorang uang akan wafat berkenaan dengan
harta benda yang ditinggalkannya.
Berdasarkan
pengertian umum dari ayat Al-Quran - seperti yang dikutib di atas - seorang
muslim yang sudah merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat
wasiat berupa pemberian (hibah) dari hartanya untuk ibu-bapak dan kaum
kerabatnya, apbaila ia meninggalkan harta yang banyak. Timbul pertanyaan:
Mengapa pada ayat tersebut dikhususkan wasiat tentang pemberian harta itu
kepada ibu-bapak dan kaum kerabat (saudara dekat)? Bukankah ibu-bapak itu
termasuk ahli waris dari seorang anak yang meninggal, yang sudah ada hak-hak
dan bagiannya menurut hukum faraid, pembagian harta pusaka?
Dalam hubungan ini perlu diuraikan lebih dahulu sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut.
Di jaman jahiliyah, kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya memberikan hartabendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu-bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut-sebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.
Untuk menertibkan sikap yang pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah ayat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180), yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta benda yang ditinggalkan itu untuk ibu-bapak sendiri dan keluarga yang dekat-dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang terkenal dengan sebutan ayatul-mawarist (permulaan surat An-Nisa'), yang mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi sebagian ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu-waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu-bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama. Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan-ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:
"Dan Kami mewajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS. Al-Ankabut ayat 8).
Dalam hubungan ini perlu diuraikan lebih dahulu sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut.
Di jaman jahiliyah, kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya memberikan hartabendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu-bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut-sebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.
Untuk menertibkan sikap yang pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah ayat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180), yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta benda yang ditinggalkan itu untuk ibu-bapak sendiri dan keluarga yang dekat-dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang terkenal dengan sebutan ayatul-mawarist (permulaan surat An-Nisa'), yang mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi sebagian ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu-waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu-bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama. Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan-ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:
"Dan Kami mewajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS. Al-Ankabut ayat 8).
b.
Syarat wasiat
1) Meninggalkan harta yang banyak.
2) Tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah
seluruh harta.
Syarat yang pertama dan utama
tentang kewajiban melakukan wasiat itu ialah apabila seseorang meninggalkan
harta yang banyak. Ukuran mengenai harta yang banyak itu adalah relatif,
sehingga berbeda-beda pendapat para ulama dalam menetapkan standar harta yang
banyak itu.
Syekh Muhammad Abduh menyatakan, bahwa dalam menetapkan ukuran itu sangat bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan keadaan zaman, kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Di negeri yang gersang dan miskin, kalau yang mati meninggalkan harta 70 dinar misalnya, itu sudah termasuk dalam bilangan meninggalkan "harta yang banyak". Tetapi, bagi seorang Raja atau Wazir tentu lain pula ukuran yang dipakai menjadi tolok ukur. (Tafsir Al-Manar).
Dalam hubungan ini, sebagai pedoman dapat digunakan keterangan dari dua buah hadist. Pertama, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sitti Aisyah (isteri Nabi), yang menceritakan seorang laki-laki mendatanginya dan menyatakan hasratnya untuk melakukan wasiat. Terjadilah dialog antara Aisyah dengan laki-laki tersebut, sebagai berikut:
"Berapa jumlah hartamu?"
"Tiga ribu dirham" - sahut laki-laki itu.
"Berapa banyak anakmu?"
"Empat orang!"
Aisyah kemudian membaca kalam Ilahi: ".....jika kamu meninggalkan harta yang banyak." Dia berkata seterusnya: "Harta itu (3000 dirham) hanya sedikit. Tinggalkanlah untuk anakmu, itu lebih baik.
Hadist yang kedua, yang diriwayatkan oleh Baihaqi, menyatakan:
"Ali bin Abi Thalib mendatangi seorang yang pernah mengasuhnya yang sudah dekat mau mati; dia mempunyai uang 600 - 700 dirham. Laki-laki itu bertanya: Haruskan aku berwasiat? Ali menjawab: tidak perlu, karena Allah SWT hanya bersabda "kalau meninggalkan harta yang banyak." Engkau tidak memiliki harta yang banyak; tinggalkanlah harta tersebut untuk ahli warismu."
Dari kedua hadist itu dapat disimpulkan, bahwa ukuran tentang "meninggalkan harta yang banyak" itu haruslah memperhitungkan kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, jangan membuat mereka itu kehilangan atau kekurangan hak menerima bagian harta pusaka.
Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal itu dijelaskan dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqash.
Pada suatu ketika, tatkala Sa'ad bin Abi Waqash sendiri merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menemui Rasulullah dan bertanya:
"Ya, Rasulullah! Apakah boleh aku mewasiatkan seluruh hartaku?"
"Jangan!" - sahut Rasulullah.
"Kalau separo, bagaimana?"
"Jangan!"
"Jika sepertiga?"
"Masih banyak. Jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka hidup meminta-minta kepada manusia."
Dari hadist ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih daripada 1/3 jumlah harta benda.
Di sinilah terletak nilai-nilai keadilan ajaran Islam hyang mempertimbangkan jangan sampai mengurangi hak-hak ahli waris menerima bagian mereka masing-masing, dan dengan sendirinya merugikan mereka.
Syekh Muhammad Abduh menyatakan, bahwa dalam menetapkan ukuran itu sangat bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan keadaan zaman, kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Di negeri yang gersang dan miskin, kalau yang mati meninggalkan harta 70 dinar misalnya, itu sudah termasuk dalam bilangan meninggalkan "harta yang banyak". Tetapi, bagi seorang Raja atau Wazir tentu lain pula ukuran yang dipakai menjadi tolok ukur. (Tafsir Al-Manar).
Dalam hubungan ini, sebagai pedoman dapat digunakan keterangan dari dua buah hadist. Pertama, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sitti Aisyah (isteri Nabi), yang menceritakan seorang laki-laki mendatanginya dan menyatakan hasratnya untuk melakukan wasiat. Terjadilah dialog antara Aisyah dengan laki-laki tersebut, sebagai berikut:
"Berapa jumlah hartamu?"
"Tiga ribu dirham" - sahut laki-laki itu.
"Berapa banyak anakmu?"
"Empat orang!"
Aisyah kemudian membaca kalam Ilahi: ".....jika kamu meninggalkan harta yang banyak." Dia berkata seterusnya: "Harta itu (3000 dirham) hanya sedikit. Tinggalkanlah untuk anakmu, itu lebih baik.
Hadist yang kedua, yang diriwayatkan oleh Baihaqi, menyatakan:
"Ali bin Abi Thalib mendatangi seorang yang pernah mengasuhnya yang sudah dekat mau mati; dia mempunyai uang 600 - 700 dirham. Laki-laki itu bertanya: Haruskan aku berwasiat? Ali menjawab: tidak perlu, karena Allah SWT hanya bersabda "kalau meninggalkan harta yang banyak." Engkau tidak memiliki harta yang banyak; tinggalkanlah harta tersebut untuk ahli warismu."
Dari kedua hadist itu dapat disimpulkan, bahwa ukuran tentang "meninggalkan harta yang banyak" itu haruslah memperhitungkan kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, jangan membuat mereka itu kehilangan atau kekurangan hak menerima bagian harta pusaka.
Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal itu dijelaskan dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqash.
Pada suatu ketika, tatkala Sa'ad bin Abi Waqash sendiri merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menemui Rasulullah dan bertanya:
"Ya, Rasulullah! Apakah boleh aku mewasiatkan seluruh hartaku?"
"Jangan!" - sahut Rasulullah.
"Kalau separo, bagaimana?"
"Jangan!"
"Jika sepertiga?"
"Masih banyak. Jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka hidup meminta-minta kepada manusia."
Dari hadist ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih daripada 1/3 jumlah harta benda.
Di sinilah terletak nilai-nilai keadilan ajaran Islam hyang mempertimbangkan jangan sampai mengurangi hak-hak ahli waris menerima bagian mereka masing-masing, dan dengan sendirinya merugikan mereka.
c.
Ciri
dan Prinsip Wasiat islam
1)
Harta yang hendak
diwasiatkan mestilah tidak lebih daripada sepertiga (1/3) daripada harta pusaka
bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris.
2)
Penerimanya hendaklah bukan waris iaitu
mereka yang tiada hak faraid ke atas pusaka simati kecuali mendapat persetujuan
daripada ahli-ahli waris yang lain.
3)
Jika penerima wasiat
meninggal dunia semasa hayat pewasiat, maka wasiat tersebut adalah terbatal.
4)
Jika penerima wasiat
meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian pewasiat, maka
haknya boleh diwarisi oleh waris penerima.
5)
Selepas kematian
pewasiat, perlu ditolak dahulu kos perbelanjaan pengkebumian dan pembayaran
hutang simati.
6)
Wasiat boleh
ditarikbalik pada bila-bila masa kerana ia hanya berkuatkuasa selepas kematian
pewasiat dan wasiat tersebut perlulah dibuat secara sukarela.
d.
Motif dan Hikmah Wasiat
Motif dan
hikmah melakukan wasiat itu bagi orang yang banyak mempunyai harta kekayaan
ialah sebagai tambahan amal yang masih dapat dilakukan seseorang ketika ajalnya
sudah hampir dan dekat. Wasiat itu barulah berlaku apabila orang yang
bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah semacam hibah
(pemberian) juga. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah itu
dilakukan (diberikan) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia masih
hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu meninggal
dunia.
Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. (Tafsir Qurthubi).
Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas-batas ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti yang diperingatkan dalam Al-Quran:
"Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah II: 181).
Adapun apabila sesuatu wasiat bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, tentu saja tidak boleh dilaksanakan, malah wajib ditinggalkan. Selain daripada wasiat harta di zaman "sekularisme" ini adapula orang yang mewasiatkan kalau dia mati, supaya jenazahnya dibakar, jangan dikuburkan walaupun waktu hidupnya dia mengaku sebagai seorang Islam. Wasiat yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bila dilaksanakan, maka orang yang menjalankannya akan memikul dosa.
Uraian ini adalah untuk menggugah hartawan Islam atau orang-orang yang merasa mempunyai harta yang banyak agar melakukan wasiat pada saat-saat menjelang kematiannya, sebagai tambahan amal ibadahnya pada detik-detik yang terakhir dari kehidupannya.
Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. (Tafsir Qurthubi).
Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas-batas ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti yang diperingatkan dalam Al-Quran:
"Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah II: 181).
Adapun apabila sesuatu wasiat bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, tentu saja tidak boleh dilaksanakan, malah wajib ditinggalkan. Selain daripada wasiat harta di zaman "sekularisme" ini adapula orang yang mewasiatkan kalau dia mati, supaya jenazahnya dibakar, jangan dikuburkan walaupun waktu hidupnya dia mengaku sebagai seorang Islam. Wasiat yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bila dilaksanakan, maka orang yang menjalankannya akan memikul dosa.
Uraian ini adalah untuk menggugah hartawan Islam atau orang-orang yang merasa mempunyai harta yang banyak agar melakukan wasiat pada saat-saat menjelang kematiannya, sebagai tambahan amal ibadahnya pada detik-detik yang terakhir dari kehidupannya.
e.
Ciri-Ciri Wasiat
1) Harta yang
hendak diwasiatkan mestilah tidak lebih daripada sepertiga (1/3) daripada harta
pusaka bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris.
2) Penerimanya hendaklah bukan waris
iaitu mereka yang tiada hak faraid ke atas pusaka simati kecuali mendapat
persetujuan daripada ahli-ahli waris yang lain.
3) Jika
penerima wasiat meninggal dunia semasa hayat pewasiat, maka wasiat tersebut
adalah terbatal.
4) Jika
penerima wasiat meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian
pewasiat, maka haknya boleh diwarisi oleh waris penerima.
5) Selepas
kematian pewasiat, perlu ditolak dahulu kos perbelanjaan pengkebumian dan
pembayaran hutang simati.
6) Wasiat boleh
ditarikbalik pada bila-bila masa kerana ia hanya berkuatkuasa selepas kematian
pewasiat dan wasiat tersebut perlulah dibuat secara sukarela.
f. Dalil
Wasiat
Wasiat adalah
dibenarkan di dalam Islam. Wasiat disyariatkan melalui dalil Al-Quran, Sunnah
Nabi s.a.w., amalan sahabat dan ijma' ulama'.
Dalam Al-Quran, ALLAH berfirman:
“Pembahagian
itu ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh simati dan sesudah dibayarkan
hutangnya.” (Surah An-Nisaayat 11).
Dalam Hadist, Rasulullah s.a.w.
bersabda:
“Seseorang Muslim yang mempunyai
sesuatu yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur dua malam berturut-turut
melainkan dia menulis wasiat disisinya.”
(Hadis
riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadis ini
menyebut kalimah 'tidak sepatutnya' menunjukkan bahawa langkah persediaan perlu
diambil oleh setiap seorang Muslim dengan menulis wasiatnya kerana dia tidak
mengetahui bila ajalnya akan tiba. Kemungkinan kelalaiannya akan mengakibatkan
segala hajatnya tergendala dan tidak terlaksana.
Rasulullah s.a.w. turut besabda:
“Orang yang
malang ialah orang yang tidak sempat berwasiat.”
(Hadis
riwayat Ibnu Majah)
Sabda
Rasulullah s.a.w :
“Siapa yang
meninggal dunia dengan meninggalkan wasiat maka dia mati di atas jalan islam
dan mengikuti sunnah. Dia mati dalam keadaan bertakwa, bersyahadah dan dalam
keadaan diampunkan.” (Hadist riwayat ibnu majjah).
g.
Dasar hukum Wasiat
1) "Barangsiapa yang mengubah
wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah ayat
181).
2) "Barang siapa mati dengan
melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut Sunnah, mati
dalam keadaan bertakwa dan (mengucapkan) Syahadah, mati dengan mendapat
ampunan." (riwayat Ibn Majah).
3) "Dan Kami mewajibkan manusia
(berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS.
Al-Ankabut ayat 8).
4. Warisan
a.
Pengertian
Al-miirats,
dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal
para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada
ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian
peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada
prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta
yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban
pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum
diberikan kepada istrinya).
b.
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan.
Dari
sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan
adalah :
1)
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan
harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan
pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak
wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain
kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat
peristirahatannya yang terakhir.
Satu
hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan
tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2) Hendaklah utang
piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya,
seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli
warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa
(ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
c.
Rukun
Waris
1) Pewaris
yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya
berhak untuk mewarisi harta peninggalannya. Pewaris yang wafat secara de facto
artinya kematian yang dapat dilihat pada si mayit. Sedangkan Pewaris yang wafat
secara de jure artinya pewaris yang hilang dan tidak di ketahui rimbanya hArus
melalui keputusan hakim.
2) Ahli
waris
yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima
harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau
ikatan pernikahan, atau lainnya. Secara de facto adalah ahli waris yang
benar-benar terlihat hidup.dan secara de jure adalah seorang bayi yang masih dalam
kandungan yang belum pasti epakah terlahir hidup atau mati.
3) Harta
warisan
yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
d.
Sebab-sebab
adanya hak waris
1) Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti
kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2) Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara
legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau
tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan
yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3) Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab
hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab
adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini
orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang
dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu
Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
e.
Bentuk-bentuk
waris
1) Hak waris secara fardh (yang telah
ditentukan bagiannya).
2) Hak waris secara 'ashabah (kedekatan
kekerabatan dari pihak ayah).
3) Hak waris secara tambahan.
4) Hak waris secara pertalian rahim.
5. Menghidupkan Tanah Mati
a.
Pengertian
Tanah mati : Tanah yang sudah lama di tinggal pemiliknya
dan tidak dimanfaatkan oleh siapapun.
Menghidupkannya : mengolah / menggarapnya dengan menanami
/ mendirikan bangunan diatasnya dan dapat di manfaatkan.
b.
Ciri-ciri
tanah terlantar
Menurut Hukum adat :
1) Tanah
tidak digarap lagi.
2) Batas
tanah hilang karena pengaruh alam.
c.
Hal-hal
yang dapat terjadi
1) Orang
yang menelantarkan tanah akan kehilangan hak atas tansh tersebut.
2) Orang
yang menghidupkan tanah terlantar akan memperoleh hak milik atas tanah
tersebut.
d.
Dasar
Hukum
Hadist
“Siapa
saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah tersebut menjadi miliknya.”
(HR.Bukhari-muslim).
“Bagi orang yang membiarkan tanahnya, maka tidak ada hak
baginya, setelah dibiarkan selama tiga musim.”
(HR.Bukhari-muslim).
6. Ijarah
a.
Pengertian
·
Secara etimologis al-ijarah
berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti
dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah.
·
Dalam syari’at Islam ijarah
adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.
·
Sedangkan menurut Sulaiman
Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi
diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat.
·
Menurut Malikiyah
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat
manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
·
Menurut Syafi’iyah
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud
tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti
tertentu.”
b.
Dasar Hukum
1) Al-qur’an
Artinya “jika mereka menyusukan
anak- anakmu untukmu, maka berikanlah upahnya.”
2) As-sunah
Artinya “berikanlah upah pekerja
sebelum keringatnya kering”
(HR. Ibu Majah dari ibnu Umar)
3) Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah
berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
c.
Syarat Ijarah
1)
Syarat terjadinya akad
Syarat ini berkaitan dengan
aqid, zat akad, dan tempat akad. Syarat ini sering disebut
“inqad..menurut Ulama Hanafiah ,’aqid disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7
tahun), serta tidak syaratkan tidak baliq. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad
ijarah anak mumayyiz, dipandang sah, tetapi bergantung atas keridhoan walinya.
“inqad..menurut Ulama Hanafiah ,’aqid disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7
tahun), serta tidak syaratkan tidak baliq. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad
ijarah anak mumayyiz, dipandang sah, tetapi bergantung atas keridhoan walinya.
2) Syarat pelaksanaan Ijarah (An-Nafadz)
Agar izarah terlaksana, barang harus
dimiliki oleh Aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).
3)
Syarat sah
Ijarah
a)
Keabsahan
ijarah sangat berkaitan dengan aqid (orang yang aqad), ma’qud’alaih (barang
yang menjadi objek akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs Al-‘Akad), yaitu :
b) Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad.
c) Ma’qud ‘alaih bermamfaat dengan jelas.
d) Ma;qud ‘alaih harus memenuhi secara syara.
e)
Kemamfaatan
benda dibolehkan menurut syara tidak menyewa untuk pekerjaan yang di wajibkan
kepadanya.
f)
Tidak
mengambil manfaat bagi diri orang disewa. Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
4)
Syarat
ujrah.
a)
Berupa
harta tetap yang dapat diketahui.
b)
Tidak
boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah
untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
d.
Rukun Ijarah
Menurut
Ulama hanafiah, rukun Ijarah adalah Ijab dan Qobul, antara lain dengan
menggunakan kalimat al-ijarah, alistigfar, al-ikhtiar, dan al-ikra.
Menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada 4, yaitu:
menggunakan kalimat al-ijarah, alistigfar, al-ikhtiar, dan al-ikra.
Menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada 4, yaitu:
a) Aqid
b) Shighat akad
c) Ujrah(upah)
d) Manfaat
7. Al-Mudharabah
a.
Pengertian
Al Mudharabah
adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan
harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara
keduanya sesuai dengan kesepakatan.
b.
Jenis
Al mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
1) Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas).
Adalah sistem
mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan
modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan
dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib
(pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan
kemaslahatan.
2) Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya
pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan
jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan
Mudharib.[15] Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya,
namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali
menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan
kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
c.
Rukun
Al mudharabah
Al Mudharabah
seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
1)
Adanya
dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
a) Mereka berdua baligh, berakal, Rasyid
dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya.
b) Harus terbukti adanya pemantauan
terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari
praktek riba dan haram.
2)
Objek
transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
a) Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang
harus dipenuhi:
·
Modal
harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah
ijma’. atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang
rojih.
·
Modal
yang diserahkan harus jelas diketahui.
·
Modal
yang diserahkan harus tertentu.
·
Modal
diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan
dapat beraktivitas dengannya.
b)
Jenis usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
·
Jenis
usaha tersebut di bidang perniagaan
·
Tidak
menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti
ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang
permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
c)
Keuntungan
Dalam Mudharabah ada empat syarat mengeai keuntungan
:
·
Keuntungan
khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan
pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga,
misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan
untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah
kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga
menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh
keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk
istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
·
Pembagian
keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya
dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan
sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
·
Keuntungan
harus diketahui secara jelas.
·
Dalam
transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor)
dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata
seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya, contohnya
dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu
juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah
3) Pelafalan perjanjian (Shighah Transaksi)
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari
kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah
ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat
dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.
d.
Syarat
Dalam mudharabah
1)
Syarat
yang shahih (benar) :
yaitu syarat
yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki
maslahat untuk akad tersebut.
2)
Syarat
yang fasad (tidak benar) :
·
Syarat
yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli
sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga
modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena
menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
·
Syarat
yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada
pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
·
Syarat
yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola
bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua
usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya
untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan.
Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak
jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali.
Sehingga akadnya batal.
e. Berakhirnya
Usaha mudharabah
Mudharabah
termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan
pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus
menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan
transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa
berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila
atau idiot.
8. Barter (tukar menukar)
a.
Pengertian
merupakan sejenis bentuk perniagaan
yang tidak menggunakan sebarang bentuk perantara pertukaran,
di mana barangan
atau perkhidmatan
ditukar dengan barangan dan/atau perkhidmatan lain. Ia boleh jadi dibuat antara
dua atau beberapa pihak.
Melalui
sistem ini mereka terpaksa membuat pilihan sesama mereka untuk mendapatkan
barang perantaraan yang dapat membawa manfaat bersama antara mereka. Oleh sebab
itu, barang-barang yang digunakan sebagai alat perantaraan itu berbeza mengikut
suasana dan zaman. maka jelaslah di sini bahawa pertukaran adalah tidak
mustahil tanpa uang
dan tidak hairanlah manusia boleh menjalankan kegiatan perdagangan dengan
sistem pertukaran barter.
b.
Kelemahan
Sistem Barter
1) Penemuan
kehendak beregu
Kedua-dua pihak A dan B harus mempunyai kehendak yang
saling menggenapkan sebelum pertukaran boleh dilakukan. Pihak A harus dapat
menawarkan barang X yang dikehendaki oleh B dan pada masa sama pihak A juga
harus mempunyai keinginan kepada barang Y yang ditawarkan oleh B. Kadangkala
proses pemadanan kehendak yang sesuai mengambil masa yang lama sebeluum proses
pertukaran boleh dilakukan. Masalah penemuan kehendak bergu ini merupakan
masalah paling utama dalam sistem pertukaran barter.
2)
Masalah
membahagi
Komoditi yang ditukarkan
mungkin besar dan sukar dibahagikan kepada unit-unit kecil semasa membuat
pertukaran dengan barang lain yang bernilai kecil. Contohnya, sekiranya satu
pihak yang menginginkan sebahagian daging
kerbau sahaja dan
menawarkan seekor ayam
sebagai pertukaran, sudah tentu pemilik kerbau tidak akan menyembelih seekor kerbau hanya untuk tujuan
pertukaran dengan seekor ayam
sahaja.
3)
Masalah
simpanan nilai
Oleh kerana sebahagian besar barangandalam masyarakat
primitif itu merupakan hasil pertanian yang mudah rosak dan tidak tahan lama,
maka pertukaran yang melibatkan barangan yang tidak tahan lama adalah tidak
sesuai untuk ditukarkan, kecuali ia hendak digunakan dengan segera. Akan
tetapi, pertukaran selalunya berasaskan barangan lebihan yang tidak akan
digunakan dengan segera. Memang ternyatalah bahawa kebanyakan pihak tidak ingin
melangsungkan pertukaran untuk memperoleh barangan lain yang tidak tahan lama dan
tidak mempunyai ciri simpanan nilai.
4)
Barang
tidak tahan lama
Barang yang tidak tahan lama atau tidak mempunyai
simpanan nilai yang cepat rosak seperti ikan dan sayur perlu ditukarkan dengan
segera. Jika tidak, ia akan rosak dan ini akan merugikan pemilik kerana nilai
barang tersebut akan berkurangan.
c. Larangan
Dalam Melakukan Barter
diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri ra. : suatu ketika
Bilal ra. membawa kurma barniy kepada Nabi Muhammad Saw. Beliau bertanya
kepadanya, "darimana kamu memperoleh ini?"
Bilal menjawab, "aku mempunyai sebuah kurma dengan kualitas yang rendah dan menukar dua sha' kurma itu dengan satu sha' kurma barniy dengan maksud memberikan kepada Nabi Saw".
seketika itu juga Nabi Muhammad Saw bersabda, "hati-hati ! hati-hati ! ini riba ! ini riba ! jangan berbuat seperti itu. apabila kamu ingin membeli kurma (yang bagus kualitasnya), juallah kurma yang kualitasnya rendah itu, kemudian gunakan uangnya untuk membeli kurma yang lebih bagus".
Bilal menjawab, "aku mempunyai sebuah kurma dengan kualitas yang rendah dan menukar dua sha' kurma itu dengan satu sha' kurma barniy dengan maksud memberikan kepada Nabi Saw".
seketika itu juga Nabi Muhammad Saw bersabda, "hati-hati ! hati-hati ! ini riba ! ini riba ! jangan berbuat seperti itu. apabila kamu ingin membeli kurma (yang bagus kualitasnya), juallah kurma yang kualitasnya rendah itu, kemudian gunakan uangnya untuk membeli kurma yang lebih bagus".
d. Syarat
Melakukan Barter
1) Orang
yang melakukan barter harus dewasa dan berakal sehat, tidak gila.
2) Orang
tersebut haruslah mempunyai hak milik atas barang yang ditukarkan.
3) Kedua
barang harus memiliki kualitas yang sama.
e.
Rukun Barter
1) Orang
yang melakukan barter
2) Barang
yang ditukarkan
3) Ijab
Kabul yang jelas dan tegas.
9. Pertambangan
a.
Pengartian
Pertambangan
:
adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian,
penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas).
Ilmu Pertambangan :
ialah ilmu yang mempelajari secara teori
dan praktik hal-hal
yang berkaitan dengan industri
pertambangan berdasarkan prinsip praktik pertambangan
yang baik dan benar (good mining practice).
b.
Kegiatan Industri
Pertambangan
1) Penyelidikan Umum (prospecting)
2) Eksplorasi : eksplorasi pendahuluan, eksplorasi
rinci
3) Studi kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal)
4) Persiapan produksi (development, construction)
5) Penambangan (Pembongkaran,
Pemuatan,Pengangkutan, Penimbunan)
6) Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
7) Pengolahan (mineral dressing)
8)
Pemurnian
/ metalurgi ekstraksi
9)
Pemasaran
10) Corporate Social Responsibility (CSR)
11) Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
c.
Hak
Milik Pertambangan menurut Islam
Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas merupakan milik
umum seluruh rakyat, maka negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan
atau perusahaan untuk memilikinya. Demikian juga Negara tidak boleh mengizinkan
perorangan atau perusahaan melakukan eksploitasi untuk menghidupi mereka.
Negara dalam hal ini wajib melakukan eksploitasi barang tambang (sumber alam)
tersebut mewakili kaum Muslim. Kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara
urusan-urusan mereka. Jadi, apapun yang dikeluarkan dari barang tambang
ditetapkan sebagai milik umum seluruh kaum Muslim.
Apa yang
dihasilkan dari pertambangan menjadi milik umum atas seluruh kaum Muslim. Hasil
pendapatannya ditempatkan di Baitul Mal pada pos bagian pemilikan umum.
Khalifah adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil
dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya, yang dijamin hokum-hukum syara’,
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim.
d.
Pembagian Hasil Pertambangan menurut
Islam
1) Dibelanjakan untuk hal-hal yang
berhubungan dengan pemilikan umum,
yaitu untuk:
·
Seksi
pemilikan umum, bangunannya, kantor-kantornya, catatan-catatannya, system
pengawasannya dan pegawainya.
·
Para
peneliti, para penasihat, para teknisi, dan para pegawainya.
·
Membeli
berbagai peralatan dan (mebangun) industri.
·
Pembangkit
listrik, stasiun-stasiunnya, tiang-tiang penyangga dan kawat-kawatnya.
·
Untuk
membeli kereta api dan trem listrik.
2) Dibagikan kpeda individu-individu
rakyat, yang memang merupakan pemilik harta umum beserta pendapatannya baik
secara gratis maupun menjualnya kepada rakyat dengan harga semurah mungkin dan
keuntungannya digunakan untung kepentingan umum atau di kembalikan lagi kepada
rakyat yang membutuhkan.
3) Dialokasikan pada anggaran belanja
negara, pada saat dibutuhkan, setelah meluasnya tanggung jawab dan bertambahnya
perkara-perkara yang harus disubsidi.
e.
Dasar Hukum
Hadits yang
diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy :
Artinya :
“Sesungguhnya
dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau
memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki
yang ada di dalam majlis. ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau
berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana
(memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ’(Kalau begitu)
tarik kembali darinya.”
Maksudnya :
Tindakan
Rasulullah SAW yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada
Abidh bin Hamal dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut
jumlah (deposit)-nya sangat banyak dan tidak terbatas. Ini merupakan dalil
larangan atas individu untuk memilikinya, karena hal itu merupakan milik
seluruh kaum Muslim. Larangan tersebut tidak terbatas pada (tambang) garam
saja, cakupannya umum, yaitu meliputi setiap barang tambang apapun jenisnya,
asalkan memenuhi syarat bahwa barang tambang tersebut jumlah (deposit)-nya
laksana air yang mengalir, yakni tidak terbatas.
10.
Berburu
a. Pengertian
·
BANYAK sekali
orang-orang Arab dan bangsa-bangsa lain yang hidupnya berburu. Oleh karena itu
al-Quran dan hadis menganggap penting dalam persoalan ini; dan ahli-ahli fiqih
pun kemudian membuat bab tersendiri, dengan menguraikan mana yang halal dan
mana yang haram, mana yang wajib dan mana yang sunnat.
·
Hal mana justru banyaknya binatang dan burung-burung yang
dagingnya sangat baik sekali tetapi sukar didapat oleh manusia, karena tidak
termasuk binatang peliharaan. Untuk itu Islam tidak memberikan persyaratan
dalam menyembelih binatang-binatang tersebut seperti halnya persyaratan yang
berlaku pada binatang-binatang peliharaan yang harus disembelih pada lehernya.
·
Islam menganggap cukup apa yang kiranya mudah, untuk memberikan
keringanan dan keleluasaan kepada manusia. Dimana hal ini telah dibenarkan juga
oleh fitrah dan kebutuhan manusia itu sendiri. Disini Islam hanya membuat
beberapa peraturan dan persyaratan yang tunduk kepada aqidah dan tata-tertib
Islam, serta membentuk setiap persoalan umat Islam dalam suatu karakter
(shibghah) Islam.
b. Syarat-Syarat
Syarat-syarat
itu ada yang bertalian dengan si pemburunya itu sendiri, ada yang bertalian
dengan binatang yang diburu dan ada yang bertalian dengan alat yang dipakai
untuk berburu.Semua persyaratan ini hanya berlaku untuk binatang darat. Adapun
binatang laut, adalah seperti yang dikemukakan di atas, yaitu secara
keseluruhannya telah dihalalkan Allah tanpa suatu ikatan apapun.
Firman
Allah:
1) Syarat Yang Berlaku Untuk Pemburu Binatang darat
a)
Harus orang Islam
b)
Ahli kitab atau orang yang dapat dikategorikan sebagai ahli kitab
seperti Majusi dan Shabiin.
c)
Mereka itu tidak bermain-main, sehingga melayanglah jiwa binatang
tersebut tetapi tidak ada maksud untuk dimakan atau dimanfaatkan.
Rasulullah
s.a.w. bersabda :
"Barangsiapa
membunuh seekor burung pipit dengan maksud bermain-main, maka nanti di hari
kiamat burung tersebut akan mengadu kepada Allah; ia berkata: 'Ya Tuhanku! Si
Anu telah membunuh aku dengan bermain-main, tetapi tidak membunuh aku untuk
diambil manfaat.'" (Riwayat Nasa'i
dan Ibnu Hibban)
Dan
di hadistnya yang lain pun, beliau bersabda:
"Tidak
seorang pun yang membunuh burung pipit dan yang lebih kecil dari itu, tidak
menurut haknya, melainkan akan ditanyakan Allah kelak di hari kiamat.
Rasulullah s.a.w. kemudian ditanya: 'Apa hak burung itu, ya Rasulullah!' Nabi
menjawab: 'Yaitu dia disembelih kemudian dimakan, tidak diputus kepalanya
kemudian dibuang begitu saja.'" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)
d) diharuskan pula
bagi seorang yang berburu itu, bukan sedang berihram. Sebab seorang muslim yang
sedang berihram berarti dia berada dalam fase kedamaian dan keamanan yang
menyeluruh yang berpengaruh sangat luas sekali terhadap alam sekelilingnya,
termasuk binatang di permukaan bumi dan burung yang sedang terbang di angkasa,
sehingga binatang-binatang itu sekalipun berada di hadapannya dan mungkin untuk
ditangkap dengan tangan. Tetapi hal ini adalah justru merupakan ujian dan
pendidikan guna membentuk seorang muslim yang berpribadi kuat dan tabah.
Allah
telah berfirman yang artinya sebagai berikut :
"Hai
orang-orang yang beriman! Sungguh Allah menguji kamu dengan sesuatu daripada
binatang buruan yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak
kamu, supaya Allah dapat membuktikan siapakah orang yang takut kepadaNya dengan
ikhlas. Maka barangsiapa melanggar sesudah itu, baginya adalah siksaan yang
pedih." (al-Maidah: 94)
"Diharamkan atas kamu berburu (binatang)
darat selama kamu dalam keadaan berihram." (al-Maidah: 96)
2) Syarat yang Berkenaan dengan Binatang yang Diburu
a) Hendaknya
binatang tersebut tidak memungkinkan ditangkap manusia untuk disembelih pada
lehernya. Kalau ternyata memungkinkan binatang tersebut untuk disembelih di
lehernya, maka haruslah disembelih dan tidak boleh pindah kepada cara lain,
karena menyembelih adalah termasuk pokok.
b) Begitu juga,
kalau ada orang melepaskan panahnya atau anjingnya kemudian menangkap seekor
binatang dan ternyata binatang tersebut masih hidup, maka dia harus menjadikan
halalnya binatang tersebut dengan disembelih di lehernya sebagaimana lazimnya.
Tetapi kalau hidupnya itu
c) Tidak menentu,
jika disembelih juga baik dan apabila tidak disembelih juga tidak berdosa. Sabda
Nabi :
"Kalau
kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma' Allah atasnya, maka jika anjing itu
menangkap untuk kamu dan kamu dapati dia masih hidup, maka sembelihlah."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
3) Alat yang Dipakai Untuk Berburu
a) Alat yang dapat
melukai, seperti panah, pedang dan tombak. Sebagaimana diisyaratkan al-Quran
dalam firmanNya:
". .
. yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu. "
(al-Maidah: 94)
b) Binatang yang
dapat melukai karena berkat didikan yang diberikan, seperti anjing, singa,
burung elang, rajawali dan sebagainya.
Firman
Allah:
"Dihalalkan
buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang
pemburu. yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan
kepadamu." (al-Maidah: 4)
4) Berburu Dengan Senjata Tajam
a) Hendaknya alat
tersebut dapat menembus kulit, dimana binatang tersebut mati karena ketajaman
alat tersebut, bukan karena beratnya.
Adi
bin Hatim pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. bahwa ia melempar binatang
dengan golok dan mengenainya. Maka jawab Nabi:
"Apabila
Kamu melempar dengan golok, dan golok itu dapat menembus (melukai) kulit, maka
makanlah. Tetapi kalau yang mengenai itu silangnya, maka janganlah kamu
makan." (Riwayat Bukhari, Muslim)
Hadis
ini menunjukkan, bahwa yang terpenting ialah lukanya, sekalipun pembunuhan itu
dilakukan dengan alat yang berat. Dengan demikian, maka halallah binatang yang
diburu dengan peluru dan senjata api dan sebagainya. Karena alat-alat tersebut
lebih dapat menembus daripada panah, tombak dan pedang.
Adapun
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi:
"Jangan
kamu makan binatang yang mati karena senapan, kecuali apa-apa yang kamu
sembelih."
Dan
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari perkataan Umar dalam bab Binatang yang
mati karena senapan, bahwa senapan yang dimaksud di sini, ialah senapan yang
pelurunya itu terbuat dari tanah liat, kalau sudah kering kemudian dipakai
untuk berburu. Senapan seperti ini bukan senapan yang sebenarnya (menurut
pengertian sekarang. Penyusun).
Termasuk
senapan jenis ini, ialah berburu dengan menggunakan batu bulat (sebangsa
kerikil). Hal ini dengan tegas telah dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:
"Bahwa
(kerikil) itu tidak dapat untuk memburu binatang dan tidak dapat melukai musuh,
tetapi dia dapat menanggalkan gigi dan mencabut mata." (Riwayat Bukhari
dan Muslim).
b) Harus disebut
asma' Allah ketika melemparkan alat tersebut atau ketika memukulkannya,
sebagaimaria apa yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Adi bin Hatim. Sedang
hadis-hadisnya adalah merupakan asas daripada bab ini.
5) Berburu dengan Menggunakan Anjing dan Sebagainya
Kalau
berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang
diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
a)
Binatang
tersebut harus dididik.
b)
Binatang
tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang
dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk
kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
c)
Disebutnya asma'
Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini
ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan
buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan
kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang
penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah
mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu
dan sebutlah asma'Allah atasnya" (al-Maidah: 4)
11.
MUSAQAH
a.
Pengertian
Secara
etimologi, Musaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya adalah
saqa yang artinya mengalirkan, karena mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat
saqa juga berubah menjadi musaqah.
Secara terminologi,
Fuqoha berbeda-beda dalam mengertikan musaqah. Perbedaan ini tidak hanya dalam
hal redaksional seperti pendapat mereka dalam mengartikan akad-akad yang lain,
namun juga menyangkut masalahsubtansial dari musaqah itu sendiri..
Wahbah Zuhaily yang
tenar sebagai Fuqoha kontemporer mendefinisikan Musaqah sebagai berikut:
"Musaqah secara fiqh adalah sebuah
istilah dari akad mengenai pekerjaan yang berhubungan dengan pepohonan dengan
sebgaian yang dihasilkan olehnya (buahnya), atau perikatan atas beberapa pohon
kepada orang yang yang menggarapnya dengan ketetapan buah itu milik keduanya.
Pengistilahan az-Zuhaily tersebut
berbeda dengan pendapat Syafi’iyah, menurut mereka Musaqah
adalah:
“Orang yang memilki pohon tamar (kurma)
dan anggur Memberikan pekerjaan kepada orang lain untuk kesenangan keduanya
dengan menyiram, memelihara dan menjaganya, dan bagi pekerja ia memperoleh
bagian tertentu dari buah yang dihasilkan dari pohon-pohon tersebut.”
b.
Pendapat yang membolehkan.
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul
mujtahid-nya menuliskan, Jumhur ulama-yakni imam
Malik, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan (dua orang terakhir ini
adalah pengikut Abu Hanifah) serta Ahmad dan Dawud-memegang kebolehan bagi
hasil. Menurut mereka, bagi hasil ini dikecualikan dari sebuah hadits yang
melarang menjual sesuatu yang belum terjadi dan sewa-menyewa yang tidak jelas.
Mereka
berpegangan pada hadits shaahih dari Ibnu Umar r.a yang berbunyi:
“Rasulullah menyerahkan kepada
orang-orang yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengaan syarat mereka
menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh dari
buahnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Menurut Imam Malik
bahwa masaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti
delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula
untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka, dalam keadaan
pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut Madzhab Hambali,
musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan, dalam kitab
al-mughni, Imam malik berkata; musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan
dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. Menurut Hanafiyah
semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi, dapat di-musaqah-kan, seperti tebu.
Ulama-ulama fiqh kontemporer juga
mengikuti pendapat ini, di antaranya adalah Wahbah az-Zuhaili (pengarang Fiqh
al-Mu’amalah al-Muashirah), Sayyid Sabiq (pengarang fiqh as-Sunnah), dan
Afzalur Rahman (pengarang Economic Doctrines of Islam). Di Indonesia, ulama
sepakat atas kebolehan musaqah. Disamping itu, teknis, rukun ,dan syarat
Musaqah di telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pasal 266, 267,
268, 269, dan 270.
c.
Pendapat
yang tidak membolehkan.
Ibnu Rusyd juga menuliskan,
menurut Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya , Musaqah itu
tidak diperbolehkan sama sekali. Dasarnya ialah bahwa hadits-hadits yang
dipakai sebagai hujjah oleh jumhur ulama yang membolehkan, itu bertentangan
dengan aturan-aturan pokok, disamping karena hadits tersebut merupakan
keputusan terhadap orang-orang yahudi. Boleh jadi, pengakuan Nabi saw. terhadap
orang yahudi itu karena mereka dianggap sebagai hamba dan mungkin pula sebagai
warga negara dzimmi (kafir warga negara islam). Hanya saja, jika mereka itu
dianggap sebgai warga negara dzimmi, maka anggapan ini berlawanan dengan
aturan-aturan pokok, karena yang demikian itu berarti menjual sesuatu yang
belum terjadi.
Abu Hanifah
juga berpendapat bahwa bagaimanapun juga hal tersebut tidak dapat dipandang
halal, karena ada kemungkinan bentuk pembagian hasil hasil kebun yang populer
saat itu mengandung sifat-sifat yang sama sehingga mengganggu hak-hak salah
satu dari kedua belah pihak atau mendorong timbulnya perselisihan. Beliau
memandang bahwa kejahatan-kejahatan seperti inilah yang membuat sistem tersebut
terlarang.
d.
Pendapat
yang membolehkan musaqah hanya terbatas pada kurma dan anggur.
Ini adalah pendapat golongan
syafi’iyah. Untuk kebolehan keduanya, mereka
mempunyai alasan sendiri-sendiri. Untuk kebolehan kurma, mereka beralasan bahwa
bagi hasil itu merupakan suatau rukhsah, Oleh karena itu, musaqah tidak berlaku
pada semua jenis pertanian kecuali yang disebutkan dalam as-sunnah. Sedangkan
dasar Syafi’i membolehkan musaqah pada anggur ialah karena penentuan bagi hasil
itu melalui taksiran atas tangkai .
Mereka mendasarkan pendapatnya pada
hadits yang diriwayatkan oleh Utab bin Usaid r.a;
“Rasulullah saw. mengutus utab dan
menyuruhnya untuk menaksir angggur ditangkainya, kemudian zakatnya dikeluarkan
berupa zabib (anggur kering), zakat kurma juga dikeluarkan berupa kurma kering
(tamar)”
e.
Musaqah
dan Muzara’ah.
Wahbah az-zuhaili merumuskan perbedaan
antara Musaqah dan Muzaraah menjadi empat, yaitu:
1) Dalam
musaqah, apabila salah satu dari ‘aqidain tidak berkenan untuk meneruskan akad,
maka ia boleh dipaksa (untuk meneruskan akad-pen). karena hal itu tidak akan
membahayakan (terhadap kebun-pen) disisa akadnya. Berbeda dengan muzaraah,
apabila pemilik biji memutuskan akad sebelum biji ditanam, maka ia tidak boleh
dipaksa meneruskan, karena akan menimbulkan dlarurat bila diteruskan. Lebih
dari itu, akad musaqah adalah akad yang lazim sedangkan muzaraah adalah akad
ghairu lazim. Muzaraah tidak lazim kecuali bijinya sudah ditanam.
2) Apabila
masa musaqah sudah habis, maka akad tetap berlangsung tanpa upah, dan penggarap
menunaikan pekerjaanya kepeda pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan dalam
muzaraah penggarap harus meneruskan akadnya dengan ujrah mitsl, karena bolehnya
menyewakan tanah dan menggarapnya pada muzaraah.
3) Jika
pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam
muzaraah, jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak
mendapatkan apa-apa.
4) Dalam
musaqah lebih baik (istihsan) jika tidak disebutkan masa akadnya, cukup hanya
dengan mengetahui waktunya (waktu berbuah-pen) menurut adat. Berbeda dengan
menanam, karena waktu panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari
perkiraan. Sedangkan dalam muzaraah, hal itu justru disyaratkan menurut asal
madzhab hanafi. Ulama lain tidak mensyaraatkan hal ini.
f.
Rukun
Musaqah
Ulama hanafiyah
berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada mujara’ah.
Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam mujara’ah. Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa ijab-qabul tidak cukup hanya dengan pekerjaan,
tetapi harus dengan lafadz. Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam musyaqah,
seperti dalam muzara’ah yang tidak memerlukan lafadz, cukup dengan
menggarapnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafadz
(ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.
Jumhur Ulama menetapkan
bahwa rukun musyaqah ada lima, yaitu :
1) Dua
orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan
berakal
2)
Objek musyaqah
Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah
adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti
kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan
musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan
dan siraman.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek
musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan
memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan
lain-lain, dengan dua syarat:
·
Akad dilakukan sebelum buah
tampak dan dapat diperjualbelikan.
·
Akad ditentukan dengan waktu
tertentu
3)
Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad
untuk kedua pihak
4)
Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja
sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara
bersama-sama, akad menjadi tidak sah.Ulama mensyaratkan penggarap harus
mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
5)
Sighat
Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak
dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan
akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah
maksudnya.
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul
harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut Ulama
Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan,
melainkan cukup dengan mengerjakannya.
Apabila waktu lamanya musaqah tidak
ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku adalah jatuh hingga pohon itu
menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah
secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
g.
syarat-syarat
musaqaah
1)
Pohon yang dimusaqahkan
dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat – sifat yang tidak
berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak diketahui
dengan jelas
2)
Jangka waktu yang dibutuhkan
diketahui dengan jelas hal itu merupakan musaqah akad lazim (keharusan) yang
menyerupai akad sewa – menyewa. Dengan kejelasan ini maka tidak dapat unsur
ghoror. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa penjelasan jangka waktu bukan
syarat musaqah tetapi itu disunahkan.
3)
harus dilakukan sebelum buah
tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon memerlukan penggarapan. Namun
apabila terklihat hasilnya, menurut sebagian ahli fiqh tidak dibolehkan musaqah
karena tidak membutuhkan penggarapan walaupun tetap dilakukan maka namanya
ijarah (sewa – menyewa) bukan lagi musaqah. Ada ulama yang membolehkannya.
4)
Imbalan yang diterima oleh
penggarap berupa buah diketahui dengan jelas misalnya separuh atau sepertiga.
Jika dalam perjanjian ini syaratkan untuk penggarap atau pemilik pohon
mengambil hasil dari pohon – pohon tertentu saja, atau keadaan tertentu maka
musaqah tidak sah
h.
Hukum
Musyaqah Sahih dan Fasid (Rusak)
1) Hukum
musyaqah Sahih
·
Segala pekerjaan yang
berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada para penggarap, sedangkan
biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
·
Hasil dari musyaqah dibagi
berdasarkan kesepakatan.
·
Jika pohon tidak
menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa
·
Akad adalah lazim dari kedua
belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad
tanpa izin salah satunya.
·
Pemilik boleh memaksa
penggarap untuk bekerja , kecuali ada uzur
·
Boleh menambah hasil dari
ketetapan yang telah disepakati
·
Penggarap tidak memberikan
musyaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun
demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap
kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
·
Sesuatu yang tidak
berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan
·
Sesuatu yang berkaitan
dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap
·
Sesuatu yang berkaitan
dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram
atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain
·
Pekerjaan yang rutin setiap
tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban
pemilik tanah.
2) Hukum
dan Dampak Musyaqah Fasid
·
Mensyaratkan hasil musyaqah
bagi salah seorang dari yang akad
·
Mensyaratkan salah satu
bagian tertentu bagi yang akad
·
Mensyaratkan pemilik untuk
ikut dalam penggarapan
·
Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan
kepada penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik
hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban
dua orang yang akad
·
Mensyaratkan penjagaan
kepada penggarap setelah pembagian.
·
Mensyaratkan kepada
penggaarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad
·
Bersepakat sampai batas
waktu menurut kebiasaan.
·
Musyaqah digarap oleh banyak
orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
Dampak
musyaqah fasid menurut para ulama:
·
Dampak musyaqah fasid
menurut ulama Hanafiyah
·
Pemilik tidak boleh memaksa
penggarap untuk bekerja
·
Semua hasil adalah hak
pemilik kebun
·
Jika musyaqah rusak,
penggarap berhak mendapatkan upah
i.
Masalah-masalah
yang Terjadi dalam Musaqah.
1)
Penggarap Tidak Mampu
Bekerja
Penggarap terkadang tidak selamanya
mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun, tetapi
kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya, seperti karena sakit atau
bepergian. Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit atau bepergian
yang mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal), apabila dalam akad musaqah
disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara langsung (tidak dapat
diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak menjadi batal,
akan tetapi pengarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia
berhalangan.
2) Wafat
Salah Seorang ‘Aqid
Menurut Mazhab hanafi, apabila salah seorang
yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak
buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah
tersebut, demi menjaga kemaslahatan, maka penggarap melangsungkan pekerjaan
atau dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya,
sehingga buah itu masak atau pantas untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakukan
secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena dalam keadaan
seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan matangnya buah,
penggarap tidak berhak memperoleh upah.
0 komentar | add one
Posting Komentar
.................................................................................