Kamis, 08 November 2012

Cara Memperoleh harta


Rangkuman
Cara Memperoleh Harta Dalam Islam
Jial Beli
Hibah
Wasiat
Warisan
Menghidupkan Tanah Mati
Ijarah
Mudharabah
Tukar menukar
Pertambangan
Berburu
Musaqah




CARA MEMPEROLEH HARTA
DALAM ISLAM

1.  Jual beli
a.   Pengertian :
Muamalat adalah tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat dengan tata cara yang ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual beli, hutang piutang, pemberian upah, serikat usaha, urunan atau patungan, dan lain-lain.

Jual beli adalah suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tata cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang.
b.   Rukun Jual Beli :
1)    Ada penjual dan pembeli yang keduanya harus berakal sehat, atas kemauan sendiri, dewasa/baligh dan tidak mubadzir alias tidak sedang boros.
2)    Ada barang atau jasa yang diperjualbelikan dan barang penukar seperti uang, dinar emas, dirham perak, barang atau jasa. Untuk barang yang tidak terlihat karena mungkin di tempat lain namanya salam.
3)    Ada ijab qabul yaitu adalah ucapan transaksi antara yang menjual dan yang membeli (penjual dan pembeli).
c.   Larangan Dalam Jual Beli
1)    Membeli barang di atas harga pasaran
2)    Membeli barang yang sudah dibeli atau dipesan orang lain.
3)    Memjual atau membeli barang dengan cara mengecoh/menipu (bohong).
4)    Menimbun barang yang dijual agar harga naik karena dibutuhkan masyarakat.
5)    Menghambat orang lain mengetahui harga pasar agar membeli barangnya.
6)    Menyakiti penjual atau pembeli untuk melakukan transaksi.
7)    Menyembunyikan cacat barang kepada pembeli.
8)    Menjual barang dengan cara kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan.
9)    Menjual atau membeli barang haram.
10) Jual beli tujuan buruk seperti untuk merusak ketentraman umum, menyempitkan gerakan pasar, mencelakai para pesaing, dan lain-lain.



d.   Kesempatan Meneruskan/Membatalkan Jual Beli (Khiyar)
Arti definisi/pengertian Khiyar adalah kesempatan baik penjual maupun pembeli untuk memilih melanjutkan atau menghentikan jual beli. Jenis atau macam-macam khiyar yaitu :
1)    Khiyar majlis adalah pilihan menghantikan atau melanjutkan jual beli ketika penjual maupun pembeli masih di tempat yang sama.
2)    Khiyar syarat adalah syarat tertentu untuk melanjutkan jual beli seperti pembeli mensyaratkan garansi.
3)    Khiyar aibi adalah pembeli boleh membatalkan transaksi yang telah disepakati jika terdapat cacat pada barang yang dibeli.
e.   Jual Beli Barang Tidak Terlihat (Salam)
Salam adalah penjual menjual sesuatu yang tidak terlihat / tidak di tempat, hanya ditentukan dengan sifat danbarang dalam tanggungan penjual. Rukun salam sama seperti jual beli pada umumnya.

Syarat Salam
:
1)    Pembayaran dilakukan di muka pada majelis akad.
2)    Penjual hutang barang pada si pembeli sesuai dengan kesepakata.
3)    Brang yang disalam jelas spesifikasinya baik bentuk, takaran, jumlah, dan sebagainya.
f.     Hukum - Hukum Jual Beli
1)    Haram : Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.
2)    Mubah : Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
3)    Wajib : Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.

g.   Dasar Hukum Jual Beli
1)    Surat Al Baqarah ayat 275 :
Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”
2)    Q.S. an-Nisa Ayat 29 :
Artinya: “…kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka diantara kamu…”
3)    Hadist riwayat Ibnu Majjah :
Artinya: “…Jual beli itu hanya suka sama suka oleh karena kesukaan itu adalah termasuk perkara yang tersembunyi tidak dapat di amati maka wajiblah ketergantungan hokum dengan cara-cara yang nampak yang menunjukkan suka sama suka yaitu ucapan penyerahan dan  penerimaan.”
h.   Syarat Jual Beli
1)    Orang yang melakukan transaksi jual beli harus berakal dan dewasa /mumayiz yaitu sudah dapat membedakan baik dan buruk.
2)    Kalimat jual beli harus di ungkapkan dengan ungkapan masa lalu.
3)    Barang yang di perjual belikan harus punya nilai dan di tetapkan waktu penyerahannya.
4)    Penjual dan pembeli harus suka sama suka.
5)    Transaksi jual beli itu harus berlaku yaitu harus sama-sama ada hak kepemilikan dan hak penguasaan.
i.     Rukun Jual Beli
1)    Bai’ ialah orang yang menjual barang (Penjual)
2)    Mustari ialah orang yang membeli barang (Pembeli)
3)    Sighat ialah pelaksanaan ijab dan Qabul
4)    Ma’qul ‘alaih ialah benda atau barang yang akan di
5)    perjual belikan
2.  Hibah
a.    Pengertian
·         Secara umum hibah dapat diartikan memindahkan kepemilikan barang kepada orang lain ketika masih hidup.
·         Secara khusus adalah pemindahan kepemilikan suatu benda yang bukan suatu kewajiban pada orang lain ketika masih hidup dengan ījāb dan qabūl  tanpa mengharapkan pahala atau kerena menghormati dan juga bukan karena menutupi kebutuhan.
·         Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh kerena pada dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapa pun.
·         Sebenarnya hibah ini tidak termasuk materi hukum waris melainkan termasuk hukum perikatan yang diatur di dalam Buku Ketiga Bab kesepuluh Burgerlijk Wetboek (BW).
·         Di samping itu, salah satu syarat dalam hukum waris untuk adanya proses pewarisan adalah adanya seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Sedangkan dalam hibah, seseorang pemberihibah itu masih hidup pada waktu pelaksanaan pemberian.



·         Berkaitan dengan hibah ini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1)    Hibah yaitu perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah ketika hidupnya untuk memberikan sesuatu barang dengan cuma-cuma kepada penerima hibah.
2)    Hibah harus dilakukan antara orang yang masih hidup;
3)    Hibah harus dilakukan dengan akta notaris, apabila tidak dengan akta notaris, maka hibah batal.
b.    Rukun Hibah
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidāyatul Mujtahid meyebutkan bahwa rukun hibah ada tiga yaitu :
1)    Orang yang menghibahkan atau al-wāhib
2)    Orang yang menerima hibah atau al-mawhūb lah
3)    Pemberiannya atau perbutan hibah atau disebut juga dengan al-hibah.
c.    Syarat hibah
1)    Syarat pemberi hibah (al-wāhib)
Menurut Ulama’ Hanfiyah syarat al-wāhib sebagai berikut:
a)    Orang merdeka
b)    Orang yang mempunyai akal yang sehat (tidak gila)
c)    Orang yang telah dewasa dan mampu untuk membelanjakan harta
d)   Pemberi hibah adalah pemilik dari harta yang akan dihibahkan
2)    Syarat Penerima Hibah (al-mawhub lah)
a)    Orang yang mempunyai hak untuk memiliki barang.
b)    Al-mawhub lah haruslah benar-benar ada pada saat hibah dilakukan.
c)    Jika al-mawhub lah dalam kondisi masih kecil atau gila, maka yang menerima hibah adalah Walinya.
3)    Syarat barang yang dihibahkan (al-mawhub)
a)    Barang yang benar-benar ada dan mempunyai nilai.
b)    Penghibaan barang yang belum menjadi milik wāhib menjadi batal.
c)    Barang yang dihibahkan haruslah barang yang dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya.
d)    Kepemilikan barang tersebut dapat dialihkan, dapat dipisahkan dan dapat diserahkan kepada penerima hibah (al-mawhūb lah)



3.  Wasiat
a.    Pengertian
Perkataan wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was-sha. Artinya menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dsb. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang uang akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.
Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al-Quran - seperti yang dikutib di atas - seorang muslim yang sudah merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian (hibah) dari hartanya untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya, apbaila ia meninggalkan harta yang banyak. Timbul pertanyaan: Mengapa pada ayat tersebut dikhususkan wasiat tentang pemberian harta itu kepada ibu-bapak dan kaum kerabat (saudara dekat)? Bukankah ibu-bapak itu termasuk ahli waris dari seorang anak yang meninggal, yang sudah ada hak-hak dan bagiannya menurut hukum faraid, pembagian harta pusaka?
Dalam hubungan ini perlu diuraikan lebih dahulu sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut.
Di jaman jahiliyah, kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya memberikan hartabendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu-bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut-sebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.
Untuk menertibkan sikap yang pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah ayat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180), yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta benda yang ditinggalkan itu untuk ibu-bapak sendiri dan keluarga yang dekat-dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang terkenal dengan sebutan ayatul-mawarist (permulaan surat An-Nisa'), yang mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi sebagian ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu-waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu-bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama. Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan-ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:
"Dan Kami mewajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS. Al-Ankabut ayat 8).


b.    Syarat wasiat
1)    Meninggalkan harta yang banyak.
2)    Tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta.
Syarat yang pertama dan utama tentang kewajiban melakukan wasiat itu ialah apabila seseorang meninggalkan harta yang banyak. Ukuran mengenai harta yang banyak itu adalah relatif, sehingga berbeda-beda pendapat para ulama dalam menetapkan standar harta yang banyak itu.
Syekh Muhammad Abduh menyatakan, bahwa dalam menetapkan ukuran itu sangat bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan keadaan zaman, kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Di negeri yang gersang dan miskin, kalau yang mati meninggalkan harta 70 dinar misalnya, itu sudah termasuk dalam bilangan meninggalkan "harta yang banyak". Tetapi, bagi seorang Raja atau Wazir tentu lain pula ukuran yang dipakai menjadi tolok ukur. (Tafsir Al-Manar).
Dalam hubungan ini, sebagai pedoman dapat digunakan keterangan dari dua buah hadist. Pertama, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sitti Aisyah (isteri Nabi), yang menceritakan seorang laki-laki mendatanginya dan menyatakan hasratnya untuk melakukan wasiat. Terjadilah dialog antara Aisyah dengan laki-laki tersebut, sebagai berikut:
"Berapa jumlah hartamu?"
"Tiga ribu dirham" - sahut laki-laki itu.
"Berapa banyak anakmu?"
"Empat orang!"
Aisyah kemudian membaca kalam Ilahi: ".....jika kamu meninggalkan harta yang banyak." Dia berkata seterusnya: "Harta itu (3000 dirham) hanya sedikit. Tinggalkanlah untuk anakmu, itu lebih baik.

Hadist yang kedua, yang diriwayatkan oleh Baihaqi, menyatakan:
"Ali bin Abi Thalib mendatangi seorang yang pernah mengasuhnya yang sudah dekat mau mati; dia mempunyai uang 600 - 700 dirham. Laki-laki itu bertanya: Haruskan aku berwasiat? Ali menjawab: tidak perlu, karena Allah SWT hanya bersabda "kalau meninggalkan harta yang banyak." Engkau tidak memiliki harta yang banyak; tinggalkanlah harta tersebut untuk ahli warismu."

Dari kedua hadist itu dapat disimpulkan, bahwa ukuran tentang "meninggalkan harta yang banyak" itu haruslah memperhitungkan kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, jangan membuat mereka itu kehilangan atau kekurangan hak menerima bagian harta pusaka.

Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal itu dijelaskan dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqash.
Pada suatu ketika, tatkala Sa'ad bin Abi Waqash sendiri merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menemui Rasulullah dan bertanya:
"Ya, Rasulullah! Apakah boleh aku mewasiatkan seluruh hartaku?"
"Jangan!" - sahut Rasulullah.
"Kalau separo, bagaimana?"
"Jangan!"
"Jika sepertiga?"
"Masih banyak. Jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka hidup meminta-minta kepada manusia."

Dari hadist ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih daripada 1/3 jumlah harta benda.
Di sinilah terletak nilai-nilai keadilan ajaran Islam hyang mempertimbangkan jangan sampai mengurangi hak-hak ahli waris menerima bagian mereka masing-masing, dan dengan sendirinya merugikan mereka.



c.    Ciri dan Prinsip Wasiat islam
1)    Harta yang hendak diwasiatkan mestilah tidak lebih daripada sepertiga (1/3) daripada harta pusaka bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris.
2)    Penerimanya hendaklah bukan waris iaitu mereka yang tiada hak faraid ke atas pusaka simati kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris yang lain.
3)    Jika penerima wasiat meninggal dunia semasa hayat pewasiat, maka wasiat tersebut adalah terbatal.
4)    Jika penerima wasiat meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian pewasiat, maka haknya boleh diwarisi oleh waris penerima.
5)    Selepas kematian pewasiat, perlu ditolak dahulu kos perbelanjaan pengkebumian dan pembayaran hutang simati.
6)    Wasiat boleh ditarikbalik pada bila-bila masa kerana ia hanya berkuatkuasa selepas kematian pewasiat dan wasiat tersebut perlulah dibuat secara sukarela.
d.    Motif dan Hikmah Wasiat
Motif dan hikmah melakukan wasiat itu bagi orang yang banyak mempunyai harta kekayaan ialah sebagai tambahan amal yang masih dapat dilakukan seseorang ketika ajalnya sudah hampir dan dekat. Wasiat itu barulah berlaku apabila orang yang bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah semacam hibah (pemberian) juga. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah itu dilakukan (diberikan) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu meninggal dunia.
Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. (Tafsir Qurthubi).
Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas-batas ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti yang diperingatkan dalam Al-Quran:
"Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah II: 181).

Adapun apabila sesuatu wasiat bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, tentu saja tidak boleh dilaksanakan, malah wajib ditinggalkan. Selain daripada wasiat harta di zaman "sekularisme" ini adapula orang yang mewasiatkan kalau dia mati, supaya jenazahnya dibakar, jangan dikuburkan walaupun waktu hidupnya dia mengaku sebagai seorang Islam. Wasiat yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bila dilaksanakan, maka orang yang menjalankannya akan memikul dosa.
Uraian ini adalah untuk menggugah hartawan Islam atau orang-orang yang merasa mempunyai harta yang banyak agar melakukan wasiat pada saat-saat menjelang kematiannya, sebagai tambahan amal ibadahnya pada detik-detik yang terakhir dari kehidupannya.
e.    Ciri-Ciri Wasiat
1)    Harta yang hendak diwasiatkan mestilah tidak lebih daripada sepertiga (1/3) daripada harta pusaka bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris.
2)     Penerimanya hendaklah bukan waris iaitu mereka yang tiada hak faraid ke atas pusaka simati kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris yang lain.
3)     Jika penerima wasiat meninggal dunia semasa hayat pewasiat, maka wasiat tersebut adalah terbatal.
4)    Jika penerima wasiat meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian pewasiat, maka haknya boleh diwarisi oleh waris penerima.
5)    Selepas kematian pewasiat, perlu ditolak dahulu kos perbelanjaan pengkebumian dan pembayaran hutang simati.
6)    Wasiat boleh ditarikbalik pada bila-bila masa kerana ia hanya berkuatkuasa selepas kematian pewasiat dan wasiat tersebut perlulah dibuat secara sukarela.
f.     Dalil Wasiat
Wasiat adalah dibenarkan di dalam Islam. Wasiat disyariatkan melalui dalil Al-Quran, Sunnah Nabi s.a.w., amalan sahabat dan ijma' ulama'.
Dalam Al-Quran, ALLAH berfirman:

“Pembahagian itu ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh simati dan sesudah dibayarkan hutangnya.”  (Surah An-Nisaayat 11).

Dalam Hadist, Rasulullah s.a.w. bersabda:

Seseorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur dua malam berturut-turut melainkan dia menulis wasiat disisinya.”  (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menyebut kalimah 'tidak sepatutnya' menunjukkan bahawa langkah persediaan perlu diambil oleh setiap seorang Muslim dengan menulis wasiatnya kerana dia tidak mengetahui bila ajalnya akan tiba. Kemungkinan kelalaiannya akan mengakibatkan segala hajatnya tergendala dan tidak terlaksana.

Rasulullah s.a.w. turut besabda:

“Orang yang malang ialah orang yang tidak sempat berwasiat.”
(Hadis riwayat Ibnu Majah)

Sabda Rasulullah s.a.w :
“Siapa yang meninggal dunia dengan meninggalkan wasiat maka dia mati di atas jalan islam dan mengikuti sunnah. Dia mati dalam keadaan bertakwa, bersyahadah dan dalam keadaan diampunkan.” (Hadist riwayat ibnu majjah).
g.    Dasar hukum Wasiat
1)    "Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah ayat 181).
2)    "Barang siapa mati dengan melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut Sunnah, mati dalam keadaan bertakwa dan (mengucapkan) Syahadah, mati dengan mendapat ampunan." (riwayat Ibn Majah).
3)    "Dan Kami mewajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS. Al-Ankabut ayat 8).



4.  Warisan
a.    Pengertian
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
b.    Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan.
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah :
1)    Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2)    Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."


c.    Rukun Waris
1)    Pewaris
yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya. Pewaris yang wafat secara de facto artinya kematian yang dapat dilihat pada si mayit. Sedangkan Pewaris yang wafat secara de jure artinya pewaris yang hilang dan tidak di ketahui rimbanya hArus melalui keputusan hakim.
2)    Ahli waris
yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya. Secara de facto adalah ahli waris yang benar-benar terlihat hidup.dan secara de jure adalah seorang bayi yang masih dalam kandungan yang belum pasti epakah terlahir hidup atau mati.
3)    Harta warisan
yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
d.    Sebab-sebab adanya hak waris
1)    Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2)    Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3)    Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
e.    Bentuk-bentuk waris
1)    Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
2)    Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
3)    Hak waris secara tambahan.
4)    Hak waris secara pertalian rahim.



5.  Menghidupkan Tanah Mati
a.    Pengertian
Tanah mati : Tanah yang sudah lama di tinggal pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh siapapun.
Menghidupkannya : mengolah / menggarapnya dengan menanami / mendirikan bangunan diatasnya dan dapat di manfaatkan.
b.    Ciri-ciri tanah terlantar
Menurut Hukum adat :
1)    Tanah tidak digarap lagi.
2)    Batas tanah hilang karena pengaruh alam.
c.    Hal-hal yang dapat terjadi
1)    Orang yang menelantarkan tanah akan kehilangan hak atas tansh tersebut.
2)    Orang yang menghidupkan tanah terlantar akan memperoleh hak milik atas tanah tersebut.
d.    Dasar Hukum
Hadist
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah tersebut menjadi miliknya.”
(HR.Bukhari-muslim).
“Bagi orang yang membiarkan tanahnya, maka tidak ada hak baginya, setelah dibiarkan selama tiga musim.”
(HR.Bukhari-muslim).
6.  Ijarah
a.    Pengertian
·         Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah.
·         Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.
·         Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat.
·         Menurut Malikiyah
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
·         Menurut Syafi’iyah
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
b.     Dasar Hukum
1)    Al-qur’an
Artinya “jika mereka menyusukan anak- anakmu untukmu, maka berikanlah upahnya.”
2)    As-sunah
Artinya “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”
(HR. Ibu Majah dari ibnu Umar)
3)    Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
c.    Syarat Ijarah
1)    Syarat terjadinya akad
Syarat ini berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad. Syarat ini sering disebut
“inqad..menurut Ulama Hanafiah ,’aqid disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7
tahun), serta tidak syaratkan tidak baliq. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad
ijarah anak mumayyiz, dipandang sah, tetapi bergantung atas keridhoan walinya.
2)    Syarat pelaksanaan Ijarah (An-Nafadz)
Agar izarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh Aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).
3)    Syarat sah Ijarah
a)    Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan aqid (orang yang aqad), ma’qud’alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs Al-‘Akad), yaitu :
b) Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad.
c) Ma’qud ‘alaih bermamfaat dengan jelas.
d) Ma;qud ‘alaih harus memenuhi secara syara.
e)    Kemamfaatan benda dibolehkan menurut syara tidak menyewa untuk pekerjaan yang di wajibkan kepadanya.
f)     Tidak mengambil manfaat bagi diri orang disewa. Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
4)    Syarat ujrah.
a)    Berupa harta tetap yang dapat diketahui.
b)    Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.



d.    Rukun Ijarah
Menurut Ulama hanafiah, rukun Ijarah adalah Ijab dan Qobul, antara lain dengan
menggunakan kalimat al-ijarah, alistigfar, al-ikhtiar, dan al-ikra.
Menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada 4, yaitu:
a)    Aqid
b)    Shighat akad
c)    Ujrah(upah)
d)    Manfaat
7.  Al-Mudharabah
a.    Pengertian
Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.
b.    Jenis Al mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:

1)    Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas).
Adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
2)    Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.[15] Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
c.    Rukun Al mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:

1)    Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
a)    Mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya.
b)    Harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.
2)    Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
a)    Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
·         Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’. atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
·         Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
·         Modal yang diserahkan harus tertentu.
·         Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
b)    Jenis usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
·         Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
·         Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
c)    Keuntungan
Dalam Mudharabah ada empat syarat mengeai keuntungan :
·         Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
·         Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
·         Keuntungan harus diketahui secara jelas.
·         Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah


3)    Pelafalan perjanjian (Shighah Transaksi)
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.
d.    Syarat Dalam mudharabah
1)    Syarat yang shahih (benar) :
yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut.
2)    Syarat yang fasad (tidak benar) :
·         Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
·         Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
·         Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.
e.    Berakhirnya Usaha mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.



8.  Barter (tukar menukar)
a.    Pengertian
merupakan sejenis bentuk perniagaan yang tidak menggunakan sebarang bentuk perantara pertukaran, di mana barangan atau perkhidmatan ditukar dengan barangan dan/atau perkhidmatan lain. Ia boleh jadi dibuat antara dua atau beberapa pihak.
Melalui sistem ini mereka terpaksa membuat pilihan sesama mereka untuk mendapatkan barang perantaraan yang dapat membawa manfaat bersama antara mereka. Oleh sebab itu, barang-barang yang digunakan sebagai alat perantaraan itu berbeza mengikut suasana dan zaman. maka jelaslah di sini bahawa pertukaran adalah tidak mustahil tanpa uang dan tidak hairanlah manusia boleh menjalankan kegiatan perdagangan dengan sistem pertukaran barter.

b.    Kelemahan Sistem Barter
1)    Penemuan kehendak beregu
Kedua-dua pihak A dan B harus mempunyai kehendak yang saling menggenapkan sebelum pertukaran boleh dilakukan. Pihak A harus dapat menawarkan barang X yang dikehendaki oleh B dan pada masa sama pihak A juga harus mempunyai keinginan kepada barang Y yang ditawarkan oleh B. Kadangkala proses pemadanan kehendak yang sesuai mengambil masa yang lama sebeluum proses pertukaran boleh dilakukan. Masalah penemuan kehendak bergu ini merupakan masalah paling utama dalam sistem pertukaran barter.
2)    Masalah membahagi
Komoditi yang ditukarkan mungkin besar dan sukar dibahagikan kepada unit-unit kecil semasa membuat pertukaran dengan barang lain yang bernilai kecil. Contohnya, sekiranya satu pihak yang menginginkan sebahagian daging kerbau sahaja dan menawarkan seekor ayam sebagai pertukaran, sudah tentu pemilik kerbau tidak akan menyembelih seekor kerbau hanya untuk tujuan pertukaran dengan seekor ayam sahaja.
3)    Masalah simpanan nilai
Oleh kerana sebahagian besar barangandalam masyarakat primitif itu merupakan hasil pertanian yang mudah rosak dan tidak tahan lama, maka pertukaran yang melibatkan barangan yang tidak tahan lama adalah tidak sesuai untuk ditukarkan, kecuali ia hendak digunakan dengan segera. Akan tetapi, pertukaran selalunya berasaskan barangan lebihan yang tidak akan digunakan dengan segera. Memang ternyatalah bahawa kebanyakan pihak tidak ingin melangsungkan pertukaran untuk memperoleh barangan lain yang tidak tahan lama dan tidak mempunyai ciri simpanan nilai.
4)    Barang tidak tahan lama
Barang yang tidak tahan lama atau tidak mempunyai simpanan nilai yang cepat rosak seperti ikan dan sayur perlu ditukarkan dengan segera. Jika tidak, ia akan rosak dan ini akan merugikan pemilik kerana nilai barang tersebut akan berkurangan.
c.    Larangan Dalam Melakukan Barter
diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri ra. : suatu ketika Bilal ra. membawa kurma barniy kepada Nabi Muhammad Saw. Beliau bertanya kepadanya, "darimana kamu memperoleh ini?"
Bilal menjawab, "aku mempunyai sebuah kurma dengan kualitas yang rendah dan menukar dua sha' kurma itu dengan satu sha' kurma barniy dengan maksud memberikan kepada Nabi Saw".
seketika itu juga Nabi Muhammad Saw bersabda, "hati-hati ! hati-hati ! ini riba ! ini riba ! jangan berbuat seperti itu. apabila kamu ingin membeli kurma (yang bagus kualitasnya), juallah kurma yang kualitasnya rendah itu, kemudian gunakan uangnya untuk membeli kurma yang lebih bagus".
d.    Syarat Melakukan Barter
1)    Orang yang melakukan barter harus dewasa dan berakal sehat, tidak gila.
2)    Orang tersebut haruslah mempunyai hak milik atas barang yang ditukarkan.
3)    Kedua barang harus memiliki kualitas yang sama.
e.    Rukun Barter
1)    Orang yang melakukan barter
2)    Barang yang ditukarkan
3)    Ijab Kabul yang jelas dan tegas.
9.  Pertambangan
a.    Pengartian
Pertambangan :
adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas).
Ilmu Pertambangan :
ialah ilmu yang mempelajari secara teori dan praktik hal-hal yang berkaitan dengan industri pertambangan berdasarkan prinsip praktik pertambangan yang baik dan benar (good mining practice).
b.    Kegiatan Industri Pertambangan
1)    Penyelidikan Umum (prospecting)
2)    Eksplorasi : eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci
4)    Persiapan produksi (development, construction)
5)    Penambangan (Pembongkaran, Pemuatan,Pengangkutan, Penimbunan)
6)    Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
7)    Pengolahan (mineral dressing)
8)    Pemurnian / metalurgi ekstraksi
9)    Pemasaran
11) Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
c.    Hak Milik Pertambangan menurut Islam
Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas merupakan milik umum seluruh rakyat, maka negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk memilikinya. Demikian juga Negara tidak boleh mengizinkan perorangan atau perusahaan melakukan eksploitasi untuk menghidupi mereka. Negara dalam hal ini wajib melakukan eksploitasi barang tambang (sumber alam) tersebut mewakili kaum Muslim. Kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan-urusan mereka. Jadi, apapun yang dikeluarkan dari barang tambang ditetapkan sebagai milik umum seluruh kaum Muslim.
Apa yang dihasilkan dari pertambangan menjadi milik umum atas seluruh kaum Muslim. Hasil pendapatannya ditempatkan di Baitul Mal pada pos bagian pemilikan umum. Khalifah adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya, yang dijamin hokum-hukum syara’, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim.
d.    Pembagian Hasil Pertambangan menurut Islam
1)    Dibelanjakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemilikan umum,
yaitu untuk:
·         Seksi pemilikan umum, bangunannya, kantor-kantornya, catatan-catatannya, system pengawasannya dan pegawainya.
·         Para peneliti, para penasihat, para teknisi, dan para pegawainya.
·         Membeli berbagai peralatan dan (mebangun) industri.
·         Pembangkit listrik, stasiun-stasiunnya, tiang-tiang penyangga dan kawat-kawatnya.
·         Untuk membeli kereta api dan trem listrik.
2)    Dibagikan kpeda individu-individu rakyat, yang memang merupakan pemilik harta umum beserta pendapatannya baik secara gratis maupun menjualnya kepada rakyat dengan harga semurah mungkin dan keuntungannya digunakan untung kepentingan umum atau di kembalikan lagi kepada rakyat yang membutuhkan.
3)    Dialokasikan pada anggaran belanja negara, pada saat dibutuhkan, setelah meluasnya tanggung jawab dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi.
e.    Dasar Hukum
Hadits yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy :
Artinya :

Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis. ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ’(Kalau begitu) tarik kembali darinya.”

Maksudnya :
Tindakan Rasulullah SAW yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut jumlah (deposit)-nya sangat banyak dan tidak terbatas. Ini merupakan dalil larangan atas individu untuk memilikinya, karena hal itu merupakan milik seluruh kaum Muslim. Larangan tersebut tidak terbatas pada (tambang) garam saja, cakupannya umum, yaitu meliputi setiap barang tambang apapun jenisnya, asalkan memenuhi syarat bahwa barang tambang tersebut jumlah (deposit)-nya laksana air yang mengalir, yakni tidak terbatas.
10.                Berburu
a.    Pengertian
·         BANYAK sekali orang-orang Arab dan bangsa-bangsa lain yang hidupnya berburu. Oleh karena itu al-Quran dan hadis menganggap penting dalam persoalan ini; dan ahli-ahli fiqih pun kemudian membuat bab tersendiri, dengan menguraikan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang wajib dan mana yang sunnat.
·         Hal mana justru banyaknya binatang dan burung-burung yang dagingnya sangat baik sekali tetapi sukar didapat oleh manusia, karena tidak termasuk binatang peliharaan. Untuk itu Islam tidak memberikan persyaratan dalam menyembelih binatang-binatang tersebut seperti halnya persyaratan yang berlaku pada binatang-binatang peliharaan yang harus disembelih pada lehernya.
·         Islam menganggap cukup apa yang kiranya mudah, untuk memberikan keringanan dan keleluasaan kepada manusia. Dimana hal ini telah dibenarkan juga oleh fitrah dan kebutuhan manusia itu sendiri. Disini Islam hanya membuat beberapa peraturan dan persyaratan yang tunduk kepada aqidah dan tata-tertib Islam, serta membentuk setiap persoalan umat Islam dalam suatu karakter (shibghah) Islam.
b.    Syarat-Syarat
Syarat-syarat itu ada yang bertalian dengan si pemburunya itu sendiri, ada yang bertalian dengan binatang yang diburu dan ada yang bertalian dengan alat yang dipakai untuk berburu.Semua persyaratan ini hanya berlaku untuk binatang darat. Adapun binatang laut, adalah seperti yang dikemukakan di atas, yaitu secara keseluruhannya telah dihalalkan Allah tanpa suatu ikatan apapun.
Firman Allah:
"Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanannya." (al-Maidah: 96)
1)    Syarat Yang Berlaku Untuk Pemburu Binatang darat
a)    Harus orang Islam
b)    Ahli kitab atau orang yang dapat dikategorikan sebagai ahli kitab seperti Majusi dan Shabiin.
c)    Mereka itu tidak bermain-main, sehingga melayanglah jiwa binatang tersebut tetapi tidak ada maksud untuk dimakan atau dimanfaatkan.

Rasulullah s.a.w. bersabda :

"Barangsiapa membunuh seekor burung pipit dengan maksud bermain-main, maka nanti di hari kiamat burung tersebut akan mengadu kepada Allah; ia berkata: 'Ya Tuhanku! Si Anu telah membunuh aku dengan bermain-main, tetapi tidak membunuh aku untuk diambil manfaat.'" (Riwayat Nasa'i dan Ibnu Hibban)

Dan di hadistnya yang lain pun, beliau bersabda:

"Tidak seorang pun yang membunuh burung pipit dan yang lebih kecil dari itu, tidak menurut haknya, melainkan akan ditanyakan Allah kelak di hari kiamat. Rasulullah s.a.w. kemudian ditanya: 'Apa hak burung itu, ya Rasulullah!' Nabi menjawab: 'Yaitu dia disembelih kemudian dimakan, tidak diputus kepalanya kemudian dibuang begitu saja.'" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)

d)    diharuskan pula bagi seorang yang berburu itu, bukan sedang berihram. Sebab seorang muslim yang sedang berihram berarti dia berada dalam fase kedamaian dan keamanan yang menyeluruh yang berpengaruh sangat luas sekali terhadap alam sekelilingnya, termasuk binatang di permukaan bumi dan burung yang sedang terbang di angkasa, sehingga binatang-binatang itu sekalipun berada di hadapannya dan mungkin untuk ditangkap dengan tangan. Tetapi hal ini adalah justru merupakan ujian dan pendidikan guna membentuk seorang muslim yang berpribadi kuat dan tabah.

Allah telah berfirman yang artinya sebagai berikut :

"Hai orang-orang yang beriman! Sungguh Allah menguji kamu dengan sesuatu daripada binatang buruan yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu, supaya Allah dapat membuktikan siapakah orang yang takut kepadaNya dengan ikhlas. Maka barangsiapa melanggar sesudah itu, baginya adalah siksaan yang pedih." (al-Maidah: 94)

"Diharamkan atas kamu berburu (binatang) darat selama kamu dalam keadaan berihram." (al-Maidah: 96)

"... padahal kamu tidak dihalalkan berburu, sedang kamu dalam keadaan berihram." (al-Maidah: 1)
2)    Syarat yang Berkenaan dengan Binatang yang Diburu
a)    Hendaknya binatang tersebut tidak memungkinkan ditangkap manusia untuk disembelih pada lehernya. Kalau ternyata memungkinkan binatang tersebut untuk disembelih di lehernya, maka haruslah disembelih dan tidak boleh pindah kepada cara lain, karena menyembelih adalah termasuk pokok.
b)    Begitu juga, kalau ada orang melepaskan panahnya atau anjingnya kemudian menangkap seekor binatang dan ternyata binatang tersebut masih hidup, maka dia harus menjadikan halalnya binatang tersebut dengan disembelih di lehernya sebagaimana lazimnya. Tetapi kalau hidupnya itu
c)    Tidak menentu, jika disembelih juga baik dan apabila tidak disembelih juga tidak berdosa. Sabda Nabi :
"Kalau kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma' Allah atasnya, maka jika anjing itu menangkap untuk kamu dan kamu dapati dia masih hidup, maka sembelihlah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3)    Alat yang Dipakai Untuk Berburu
a)    Alat yang dapat melukai, seperti panah, pedang dan tombak. Sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam firmanNya:

". . . yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu. " (al-Maidah: 94)

b)    Binatang yang dapat melukai karena berkat didikan yang diberikan, seperti anjing, singa, burung elang, rajawali dan sebagainya.

Firman Allah:

"Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu. yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu." (al-Maidah: 4)
4)    Berburu Dengan Senjata Tajam
a)    Hendaknya alat tersebut dapat menembus kulit, dimana binatang tersebut mati karena ketajaman alat tersebut, bukan karena beratnya.

Adi bin Hatim pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. bahwa ia melempar binatang dengan golok dan mengenainya. Maka jawab Nabi:

"Apabila Kamu melempar dengan golok, dan golok itu dapat menembus (melukai) kulit, maka makanlah. Tetapi kalau yang mengenai itu silangnya, maka janganlah kamu makan." (Riwayat Bukhari, Muslim)

Hadis ini menunjukkan, bahwa yang terpenting ialah lukanya, sekalipun pembunuhan itu dilakukan dengan alat yang berat. Dengan demikian, maka halallah binatang yang diburu dengan peluru dan senjata api dan sebagainya. Karena alat-alat tersebut lebih dapat menembus daripada panah, tombak dan pedang.

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi:

"Jangan kamu makan binatang yang mati karena senapan, kecuali apa-apa yang kamu sembelih."

Dan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari perkataan Umar dalam bab Binatang yang mati karena senapan, bahwa senapan yang dimaksud di sini, ialah senapan yang pelurunya itu terbuat dari tanah liat, kalau sudah kering kemudian dipakai untuk berburu. Senapan seperti ini bukan senapan yang sebenarnya (menurut pengertian sekarang. Penyusun).

Termasuk senapan jenis ini, ialah berburu dengan menggunakan batu bulat (sebangsa kerikil). Hal ini dengan tegas telah dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:

"Bahwa (kerikil) itu tidak dapat untuk memburu binatang dan tidak dapat melukai musuh, tetapi dia dapat menanggalkan gigi dan mencabut mata." (Riwayat Bukhari dan Muslim).

b)    Harus disebut asma' Allah ketika melemparkan alat tersebut atau ketika memukulkannya, sebagaimaria apa yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Adi bin Hatim. Sedang hadis-hadisnya adalah merupakan asas daripada bab ini.
5)    Berburu dengan Menggunakan Anjing dan Sebagainya
Kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
a)    Binatang tersebut harus dididik.
b)    Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
c)    Disebutnya asma' Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah asma'Allah atasnya" (al-Maidah: 4)
11.                MUSAQAH
a.    Pengertian
 Secara etimologi, Musaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya adalah saqa yang artinya mengalirkan, karena mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat saqa juga berubah menjadi musaqah.

Secara terminologi, Fuqoha berbeda-beda dalam mengertikan musaqah. Perbedaan ini tidak hanya dalam hal redaksional seperti pendapat mereka dalam mengartikan akad-akad yang lain, namun juga menyangkut masalahsubtansial dari musaqah itu sendiri..

Wahbah Zuhaily yang tenar sebagai Fuqoha kontemporer mendefinisikan Musaqah sebagai berikut:

"Musaqah secara fiqh adalah sebuah istilah dari akad mengenai pekerjaan yang berhubungan dengan pepohonan dengan sebgaian yang dihasilkan olehnya (buahnya), atau perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang yang menggarapnya dengan ketetapan buah itu milik keduanya.

Pengistilahan az-Zuhaily tersebut berbeda dengan pendapat Syafi’iyah, menurut mereka Musaqah adalah:

“Orang yang memilki pohon tamar (kurma) dan anggur Memberikan pekerjaan kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya, dan bagi pekerja ia memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan dari pohon-pohon tersebut.”
b.    Pendapat yang membolehkan.
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul mujtahid-nya menuliskan, Jumhur ulama-yakni imam Malik, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan (dua orang terakhir ini adalah pengikut Abu Hanifah) serta Ahmad dan Dawud-memegang kebolehan bagi hasil. Menurut mereka, bagi hasil ini dikecualikan dari sebuah hadits yang melarang menjual sesuatu yang belum terjadi dan sewa-menyewa yang tidak jelas.

Mereka berpegangan pada hadits shaahih dari Ibnu Umar r.a yang berbunyi:

“Rasulullah menyerahkan kepada orang-orang yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengaan syarat mereka menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh dari buahnya” (HR. Bukhari-Muslim).

Menurut Imam Malik bahwa masaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka, dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.

Menurut Madzhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan, dalam kitab al-mughni, Imam malik berkata; musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. Menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi, dapat di-musaqah-kan, seperti tebu.
Ulama-ulama fiqh kontemporer juga mengikuti pendapat ini, di antaranya adalah Wahbah az-Zuhaili (pengarang Fiqh al-Mu’amalah al-Muashirah), Sayyid Sabiq (pengarang fiqh as-Sunnah), dan Afzalur Rahman (pengarang Economic Doctrines of Islam). Di Indonesia, ulama sepakat atas kebolehan musaqah. Disamping itu, teknis, rukun ,dan syarat Musaqah di telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pasal 266, 267, 268, 269, dan 270.
c.    Pendapat yang tidak membolehkan.
Ibnu Rusyd juga menuliskan, menurut Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya , Musaqah itu tidak diperbolehkan sama sekali. Dasarnya ialah bahwa hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjah oleh jumhur ulama yang membolehkan, itu bertentangan dengan aturan-aturan pokok, disamping karena hadits tersebut merupakan keputusan terhadap orang-orang yahudi. Boleh jadi, pengakuan Nabi saw. terhadap orang yahudi itu karena mereka dianggap sebagai hamba dan mungkin pula sebagai warga negara dzimmi (kafir warga negara islam). Hanya saja, jika mereka itu dianggap sebgai warga negara dzimmi, maka anggapan ini berlawanan dengan aturan-aturan pokok, karena yang demikian itu berarti menjual sesuatu yang belum terjadi.

Abu Hanifah juga berpendapat bahwa bagaimanapun juga hal tersebut tidak dapat dipandang halal, karena ada kemungkinan bentuk pembagian hasil hasil kebun yang populer saat itu mengandung sifat-sifat yang sama sehingga mengganggu hak-hak salah satu dari kedua belah pihak atau mendorong timbulnya perselisihan. Beliau memandang bahwa kejahatan-kejahatan seperti inilah yang membuat sistem tersebut terlarang.
d.    Pendapat yang membolehkan musaqah hanya terbatas pada kurma dan anggur.
Ini adalah pendapat golongan syafi’iyah. Untuk kebolehan keduanya, mereka mempunyai alasan sendiri-sendiri. Untuk kebolehan kurma, mereka beralasan bahwa bagi hasil itu merupakan suatau rukhsah, Oleh karena itu, musaqah tidak berlaku pada semua jenis pertanian kecuali yang disebutkan dalam as-sunnah. Sedangkan dasar Syafi’i membolehkan musaqah pada anggur ialah karena penentuan bagi hasil itu melalui taksiran atas tangkai .
Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Utab bin Usaid r.a;
“Rasulullah saw. mengutus utab dan menyuruhnya untuk menaksir angggur ditangkainya, kemudian zakatnya dikeluarkan berupa zabib (anggur kering), zakat kurma juga dikeluarkan berupa kurma kering (tamar)”
e.    Musaqah dan Muzara’ah.
Wahbah az-zuhaili merumuskan perbedaan antara Musaqah dan Muzaraah menjadi empat, yaitu:
1)    Dalam musaqah, apabila salah satu dari ‘aqidain tidak berkenan untuk meneruskan akad, maka ia boleh dipaksa (untuk meneruskan akad-pen). karena hal itu tidak akan membahayakan (terhadap kebun-pen) disisa akadnya. Berbeda dengan muzaraah, apabila pemilik biji memutuskan akad sebelum biji ditanam, maka ia tidak boleh dipaksa meneruskan, karena akan menimbulkan dlarurat bila diteruskan. Lebih dari itu, akad musaqah adalah akad yang lazim sedangkan muzaraah adalah akad ghairu lazim. Muzaraah tidak lazim kecuali bijinya sudah ditanam.
2)   Apabila masa musaqah sudah habis, maka akad tetap berlangsung tanpa upah, dan penggarap menunaikan pekerjaanya kepeda pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan dalam muzaraah penggarap harus meneruskan akadnya dengan ujrah mitsl, karena bolehnya menyewakan tanah dan menggarapnya pada muzaraah.
3)   Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzaraah, jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
4)    Dalam musaqah lebih baik (istihsan) jika tidak disebutkan masa akadnya, cukup hanya dengan mengetahui waktunya (waktu berbuah-pen) menurut adat. Berbeda dengan menanam, karena waktu panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari perkiraan. Sedangkan dalam muzaraah, hal itu justru disyaratkan menurut asal madzhab hanafi. Ulama lain tidak mensyaraatkan hal ini.
f.     Rukun Musaqah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada mujara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam mujara’ah. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ijab-qabul tidak cukup hanya dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz. Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam musyaqah, seperti dalam muzara’ah yang tidak memerlukan lafadz, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafadz (ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.

Jumhur Ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada lima, yaitu :
1)   Dua orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal
2)    Objek musyaqah
Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti  kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
·         Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan.
·         Akad ditentukan dengan waktu tertentu
3)    Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak
4)    Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
5)    Sighat
Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut Ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.
Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku adalah jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.

g.    syarat-syarat musaqaah
1)    Pohon yang dimusaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat – sifat yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak diketahui dengan jelas
2)    Jangka waktu yang dibutuhkan diketahui dengan jelas hal itu merupakan musaqah akad lazim (keharusan) yang menyerupai akad sewa – menyewa. Dengan kejelasan ini maka tidak dapat unsur ghoror. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa penjelasan jangka waktu bukan syarat musaqah tetapi itu disunahkan.
3)    harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon memerlukan penggarapan. Namun apabila terklihat hasilnya, menurut sebagian ahli fiqh tidak dibolehkan musaqah karena tidak membutuhkan penggarapan walaupun tetap dilakukan maka namanya ijarah (sewa – menyewa) bukan lagi musaqah. Ada ulama yang membolehkannya.
4)    Imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas misalnya separuh atau sepertiga. Jika dalam perjanjian ini syaratkan untuk penggarap atau pemilik pohon mengambil hasil dari pohon – pohon tertentu saja, atau keadaan tertentu maka musaqah tidak sah
h.    Hukum Musyaqah Sahih dan Fasid (Rusak)
1)    Hukum musyaqah Sahih
·         Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada para penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
·         Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
·         Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa
·         Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
·         Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja , kecuali ada uzur
·         Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati
·         Penggarap tidak memberikan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
·         Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan
·         Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap
·         Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain
·         Pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.
2)    Hukum dan Dampak Musyaqah Fasid
·         Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad
·         Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad
·         Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan
·         Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan kepada penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad
·         Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
·         Mensyaratkan kepada penggaarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad
·         Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
·         Musyaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
Dampak musyaqah fasid menurut para ulama:
·         Dampak musyaqah fasid menurut ulama Hanafiyah
·         Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja
·         Semua hasil adalah hak pemilik kebun
·         Jika musyaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah
i.      Masalah-masalah yang Terjadi dalam Musaqah.
1)    Penggarap Tidak Mampu Bekerja
Penggarap terkadang tidak selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya, seperti karena sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit atau bepergian yang mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal), apabila dalam akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara langsung (tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak menjadi batal, akan tetapi pengarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan.
2)    Wafat Salah Seorang ‘Aqid
Menurut Mazhab hanafi, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah tersebut, demi menjaga kemaslahatan, maka penggarap melangsungkan pekerjaan atau dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya, sehingga buah itu masak atau pantas untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakukan secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena dalam keadaan seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan matangnya buah, penggarap tidak berhak memperoleh upah.

0 komentar | add one

Posting Komentar

.................................................................................