Supardan's Blog
BAGIAN I
BAB I
PENDAHULUAN
            Yang dimaksud dengan hokum laut internasional di sini adalah hukum laut internasional public  (international law of the sea) , bukan hokum laut internasional perdata (Maritime Law).
 Oleh karena itu di sini tidak akan dibahas mengenai pengangkutan laut, 
asuransi laut, tabrakan kapal dan hal-hal lain yang merupakan bagian 
dari pembahasan hokum laut internasional perdata.
            Kajian ini terdiri dari empat bagian.
            Bagian
 pertama membahas keadaan hokum laut internasional sebelum tahun 1930, 
di sini akan diuraikan konsepsi-konsepsi yang berkenaan dengan hokum 
laut, batas lebar laut yang dapat dijadikan sebagai bagian dari wilayah 
Negara dan upaya-upaya untuk memperluas lebar laut wilayah dan penetapan
 lebar laut wilayah yang seragam.
            Bagian
 kedua menguraikan keadaan hokum laut international antara tahun 1930 
dan 1958. Di dalam bagian akan dibahas kelanjutan dari upaya-upaya 
perluasan dan penyeragaman laut wilayah, timbulnya rezim-rezim hokum 
baru seperti landas kontinen, dan konsep Negara kepulauan (archipelago states).
 Rezim-rezim hokum baru tersebut bersama-sama dengan tuntutan perluasan 
laut wilyah diupayakan untuk dapat diterima dalam bentuk hokum 
perjanjian internasional. Dan, ini diperjuangkan sejak Konferensi Hukum 
Laut I Jenewa 1958 dan II tahun 1960.
Bagian
 ketiga menguraikan tentang keadaan hokum laut internasional setelah 
tahun 1960 sampai dengan tahun 1982, yaitu tahun ditandatanganinya 
Konvensi hokum Ketiga (United Nations Convention on the Law of the Sea)
 1982. Pada bagian ini dibahas tentang pembagian kawasan laut, serta 
perkembangan lebih lanjut dari konsep-konsep hokum laut serta timbulnya 
rejim-rejim hokum baru yang mencakup konsep dasar laut dalam (deep sebed area) sebagai warisan bersama umat manusia (common heritageof mankind) sebagai zona eksklusif.
Bagian
 keempat tentang Konvensi Hukum Laut III 1982, menguraikan proses 
pegundangan Konvensi hokum Laut III 1982 pada bulan Desember 1982 samapi
 degan ratifikasi dan aksesinya pada 16 Nopember 1996, pembagian kawasan
 laut berdasarkan Konvensi Hukum Laut III 1982, pelestarian lingkunan 
laut, penelitian ilmiah kelautan dan penyelesaian sengketa kelautan.
B. ARTI PENTINGNYA LAUT
Laut
 memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Pentingnya laut bagi 
kehidupan manusia sudah dirasakan sejak dahulu kala. Kegiatan perikanan 
dan pelayaran sudah dikenal sejak masa perpindahan nenek moyang manusia 
untuk menyebar ke seluruh belahan dunia.
Kegiatan
 perikanan yang masa lalu dilakukan secara tradisional sekarang 
dilaksanakan secara professional dengan mempergunakan peralatan canggih.
 Dalam kegiatan ini, usaha perikanan juga dapat dilakukan dengan 
menggunakan perusahaan-perusahaan asing untuk turut serta melakukan 
kegiatan perikanan di Negara-negara pantai bersangkutan, misalnya dengan
 usaha patungan (joint venture) atau bagi hasil (profit sharing).
 Penggunaan alat canggih dalam kegiatan perikanan serta semakin 
tingginya kebutuhan akan protein hewani mendorong semakin meningkatnya 
jumlah tangkapan dari 20 juta ton pada tahun 1950 menjadi 70 juta ton 
pada tahun 19701, dan akan meningkat terus sampai 200 juta ton per tahun.2
Selain
 ikan, laut juga kaya akan biota laut lainnya, dan berbagai macam 
mineral. Dasar laut misalnya kaya dengan mineral seperti tembaga, kobal 
dan nikel yang dapat dikonsumsi selama ribuan tahun,3 
bungkahan mangan, campuran belerang, minyak dan gas bumi yang terdapat 
di berbagai kawasan laut. Diperkirakan terdapat sekitar 1,13 milyar 
barel cadangan terbukti, dan 101,7 trilyun kaki kubik gas bumi dan 
cadangan potensial 57,3 trilyun kaki kubik.4 diperkirakan 60% dari persediaan minyak bumi terletak di dataran kontinen, selanjutnya apda landasan kontinen (continental slope) banyak terdapat fosfor, dan di dasar laut dalam (seabed area) terdapat nodul mengandung 25% mangan, 15% besi danbahan-bahan lainnya seperti nikel dan tembaga.5
Selanjutnya
 air laut juga penting sebagai sumber penyediaan air tawar. Air laut 
dapat dijadikan air tawar melalui proses penyulingan dan pencairan 
gunung es. Penyulingan air laut banyak dilakukan di Negara-negara Timur 
Tengah seperti Arab Saudi dan Kuwait. Mengenai penyediaan airlaut dan 
gunung es, menurut penyelidikan para ahli, sebuah gunung es sepanjang 10
 mil dapat diseret selama 1 tahun dan kehilangan separuhnya dalam 
perjalanan dan sisanya akan diperoleh air tawar sekitar 250.000 juta 
gallon air tawar. Selain itu, air laut juga mengandung bahan-bahan kimia
 dan mineral. Diperkirakan ada 317 juta kubik mil air laut, setiap 
kubiknya mengandung lebih dari 60 macam zat, mulai dari oksigen, 
hydrogen (terbanyak), emas dan radium (terkecil).
Tak
 kalah pentingnya, laut juga dapat dijadikan sebagai prasarana 
perhubungan dan pariwisata. Terkait denganhal ini telah dikembangkan 
berbagai sarana dan prasarana pendukung seperti prasaran dan saran 
transportasi dan akomodasi. Semuanya ini tentunya akan dapat menyediakan
 lapangan kerja, dan dengan demikian akan meningkatkan pendapatan 
masyarakat.
BAB II
KONSEPSI TENTANG LAUT
Sejak dahulu kala telah terdapat dua konsepsi mengenai laut, yaitu: res nullius dan res commanis.
1.      Res nullius,
 berpendapat bahwa laut sebagai ranah tak bertuan, atau kawasa yang 
tidak ada pemiliknya. Karena tidak ada pemiliknya, maka laut dapat 
diambil atau dimiliki oleh masing-masing Negara.
2.      Res communis,
 berpendapat bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, karena itu tidak 
dapat diambil dan dimiliki secara individual oleh Negara-negara. Sebagai
 milik bersama, maka laut harus dipergunakan untuk kepentingan semua 
Negara, dan pemanfaatannya terbuka bagi semua Negara.  Ini 
sesuai dengan pendapat Ulpian yang menyatakan bahwa “the sea is open to 
everybody by nature”, dan Celcius yang menyatakan “ the sea like the 
air, is common to all mankind”.1
A. PRAKTIK NEGARA-NEGARA
Dalam
 pelaksanaannya, kedua teori tersebut tak dapt diterapkan secara kaku. 
Keduanya saling melengkapi, yakni dalam batas-batas tertentu dapat 
dimiliki, tetapi dibatasi sampai jarak tertentu ini dapat dilihat dalam 
praktik yang dianut Negara-negara sejak dahulu sampai sekarang.2
1. Zaman sebelum Romawi
            Punisia
 kuno, sebuah kerajaan sebelum zaman Romawi menganggap laut yang mereka 
kuasai sebagai milik Negara mereka. Paham ini juga dianut oleh bangsa 
Persia, Yunani dan Rhodia. Di zaman Rhodia, hokum laut telah mulai 
berkembang, yang kemudian menjadi dasar bagi Hukum Romawi tentang laut.
2. Zaman Romawi
            Setelah
 perang Punis III Romawi telah menjadi penguasa tunggal di Laut Tengah. 
Laut Tengah kemudian dianggap oleh orang-orang Romawi sebagai “danau” 
mereka. Dalam melaksanakan kekuasaannya di laut tersebut banyak tanda 
yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut bias dimiliki. 
Orang Romawi memandang laut sebagai “public property” yakni sebagai 
milik Kerajaan Romawi.
3. Setelah Zaman Romawi
            Setelah
 zaman Romawi terdapat banyak Negara di sekitar Laut Tengah yang 
merupakan pecahan dari Kerajaan Romawi. Negara-negara ini menuntut laut 
yang berdekatan dengan pantai mereka sebagai wilayah mereka. Karena itu 
masa ini dipandang sebagai awal dari berkembangnya konsep laut wilayah.
            Tuntutan
 atas kepemilikan laut ini misalnya dilakukan oleh: (a) Venesia yang 
menuntut sebagian besar Laut Adriatik. Tuntutan ini diakui oleh 
Alexander III pada 
Tahun
 1117. Di kawasan ini Venesia memungut kepada setiap kapal yang melewati
 kawasan laut Adriatik, (b) Genoa menuntut Laut Liguarian dan 
sekitarnya, dan (c) Pysa menuntut dan melaksanakan kedaulatannya atas 
laut Tyraania.
            Tuntutan-tuntutan
 itu cenderung menimbulkan penyalahgunaan hak oleh Negara-negara 
tersebut (misalnya memungut biaya pelayaran). Untuk mengatasi hal ini, 
para penulis pada waktu itu membatasi tuntutan tersebut sampai batas 
tertentu saja. Misalnya, Bartolus, Solorzan dan Cosaregis membatasi laut
 Negara pantai itu sampai 100 mil Italia (pada waktu itu = 1480 m). 
Baldus, Bodin dan Targa membatasinya sampai 60 mil, Loccanius 
membatasinya sampai batas yang diinginkan oleh Negara pantai tanpa 
merugikan negara tetangganya.
4. Zaman Portugal dan Spanyol
            Jatuhnya
 Constantinopel ke tangan Turki pada tahun 1443, menyebabkan bangsa 
Portugis mencari jalan laut lain ke timur menuju Indonesia melalui 
Samudera Hindia. Selain itu, Portugal juga menuntut Laut Atlantik 
sebelah selatan Maroko sebagai wilayah mereka. Bersamaan dengan ini, 
Spanyol sudah samapi di Maluku melalui Samudera Pasifik, dan menuntut 
Samudera ini bersama dengan bagian Barat Samudera Atlantik dan Teluk 
Mexico sebagai kepunyaan mereka.
            Tuntutan
 kedua Negara ini diakui oleh Paus Alexander VI, yang membagi dua lautan
 di dunia menjadi dua bagian dengan batas garis meridian 100 leagues 
(lk. 400 mil laut) sebelah Barat Azores. Sebelah barat dari meridian 
tersebut (Samudera Atlantik Barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) 
menjadi miliki Spanyol, dan sebelah Timur (Atlantik sebelah Selatan 
Maroko, dan Samudera Hindia) menjadi milik Portugal. Pembagian ini 
kemudian diperkuat dengan perjanjian Tordissilias antara Spanyol dan 
Portugis (1494) dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 
leagues sebelah Barat Pulau0pulau Cape Verde di pantai Barat Afrika.
            Sementara
 itu, Swedia dan Denmark menuntut kedaulatan atas Laut Baltik, dan 
Inggris atas Narrow Seas, dan Samudera Atlantik dari Cape Utara sampai 
ke Cape Finnistere,3 atau laut di sekitar kepulauan Ingrris (Mare Anglicanum).4
 dan untuk melaksanakan kedaulatannya atas laut-laut tersebut, pada abad
 ke-17 Inggris memaksa orang-orang asing untuk mendapat lisensi Inggris 
untuk melakukan penangkapan ikan di Laut Utara, dan ketika dalam 1636 
Belanda mencoba menangkap ikan, mereka diserang dan dipaksa mebayar 
30.000 found sebagai harga kegemaran (the price of indulgence).5
5. Belanda
            Tuntutan kedaulatan atas Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia oleh Portugal dan Spanyol serta kedaulatan atas Mare Anglicanum oleh
 Inggris dirasa sangat merugikan Belanda di bidang pelayaran dan 
perikanan. Di bidang pelayaran Belanda sudah sampai di Indonesia melalui
 Samudera Hindia pada tahun 1596, dan mendirikan Verenigde Oost Indische Compgnie (VOC)
 pada tahun 1602. Penerobosan melalui Samudera Hindia ini langsung 
berbenturan dengan kepentingan dan tuntutan Portugal. Di bidang 
perikanan orang-orang Belanda selama berabad-abad telah menangkap ikan 
di sekitar perairan Mare Anglicanum, dan kegiatan ini telah dijamin oleh
 berbagai perjanjian antara kedua Negara.
            Untuk
 memperkuat dalil penentangannya atas kepemilikan laut, Belanda berusaha
 mencari dasar-dasar hokum yang menyatakan laut adalah bebas untuk semua
 bangsa. Untuk kepentingan ini Belanda menyewa Hugo de Groot, seorang 
ahli hokum untuk menulis sebuah buku yang membenarkan pendirian Belanda,
 shingga orang-orang Belanda dapat bebas berlayar ke Indonesia. 
Hasilnya, Grotius menyusun sebuah buku dengan judul “Mare Liberum”. Buku
 ini menguraikan teori kebebasan lautan dalam arti bahwa laut bebas bagi
 setiap orang, dan tak dapat dimiliki oleh siapa pun.
Teori
 Gratius mendapat tentangan dari banyak penulis seangkatannya. Gentilis 
misalny, membela tuntutan Spanyol dan Inggris dalam bukunya “Advocatio 
Hispanica” yang diterbitkan setelah ia meninggal, tahun 1613. Pada tahun
 yang sama William Wellwood membela tuntutan Inggris dalam bukunya “de 
Dominio Maris”.njohn Seldon menulis Mare Clausum sive de Domino Marsnya
 pada tahun 1618 dan terbit pada tahun 1635. Paolo Sarpi menerbitkan 
“Del Dominio del mare Adriatico” 1676 untuk membela tuntutan Venesia 
atas laut lautan Adriatik. Yang terpenting dari buku-buku yang membela 
kepentingan kepemilikan atas laut adalaah Mare Clausum Shelden.
 Karya ini diperintahkan untuk diterbitkan pada tahun 1635 pada masa 
raja Charles I, yang meminta agar penulis Mare Liberium dihukum.6
6. Inggris 
            Pada
 mulanya, sebelum tahun 604 Inggris menganut faham kebebasan lautan. 
Faham ini dianut terutama untuk menghadapi tuntutan Denmark atas 
kebebasan di laut Utara.. namun dalam tahun 1604 Charles I 
memproklamirkan “King Chamber Area” yang meliputi 26 wilyayah di 
sepanjang dan sekitar lautan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai 
wilayah kedaulatan Inggris. Di daerah-daerah ini, diantaranya ada yang 
melebihi 100 mil, Charles I melarang kapal-kapal nelayan asing menangkap
 ikan di kawasan tersebut. Tuntutan ini ditentang oleh Belanda. 
Dalam
 perkembangan selanjutnya, umum diterima bahwa Negara-negara dapat 
memiliki jalur-jalur laut yang terletak di sekitar atau di sepanjang 
pantainya, dan di luar jalur-jalur tersebut dianggap bebas bagi semua 
umat manusia. Beberapa jalur laut yang dapat dimiliki tidak sama untuk 
semua Negara, dan ini tergantung pada jenis dan fungsi jalur-jalur 
tersebut. Lebar laut untuk kepentingan perikanan misalnya, tidak sama 
dengan untuk kepentingan netralitas, pengawasan pabean dan kepentingan 
yurisdiksi perdata, pidana dan lain-lain.
B. PERKEMBANGAN AJARAN HUKUM LAUT
            Dalam abad ke-17 dapat dikatakan telah lahir dua ajaran (doktrin) di bidang hokum laut internasional, yaitu ajaran Mare Liberium, yang menegaskan bahwa laut tidak bias dimiliki oleh siapa pun; dan Mare Clausum,
 yang menyatakan bahwa laut dapat dimiliki. Pendapat pertama dianut 
Belanda, dan yang kedua, antara lain, dianut Inggris, Spanyol, dan 
Portugal. Kedua ajaran ini pada hakekatnya sama dengan teori res nullius
 (mare clausum), dan res communis (mare liberium).
            Kedua
 ajaran ini timbul akibat dari pertentangan Belanda atas penguasaan laut
 di dunia oleh Portugal dan Spanyol, serta untutan Inggris atas kawasan 
Mare Anglicanum. Pertentangan antara Negara-negara ini terutama antara 
Belanda dan Inggris menimbulkan the Battle of books (perang 
buku).perang buku ini berlangsung kurang lebih 50 tahun dan berakhir 
dengan terjadinya perang antara Inggris dan Belanda pada tahun 1665. 
Perang buku ini umumnya berkisar pada dua teori tersebut.
1. Mare Liberum
Sebenarnya,
 sebelum terbit dan dikembangkannya ajaran Mare Liberum dalam tahun 1609
 oleh Grotius, ajran ini telah dianut oleh Negara-negara lain. Selama 
abad ke-16 Ratu Inggris, Elizabeth menganut teori ini. Francoise Alfonso
 Castro dalam bukunya De Potestate Legis Poenalis, Vasculus Menchaca (1509-1569)di Portugal dalam bukunya Controverslae Illustris, Alberto Gentilldi Italia dalam bukunya de Jure Belli menganut teori ini.
Di
 antara penulis penganut teori ini yang paling terkenal adalah Hugo de 
Groot, yang menulis pandangannya mengenai kebebasan laut dalam bukunya 
Mare Liberum yang terbit tahun 1608 tersebut. Sesuai ajarannya tentang mare liberum, Grotius berpendapat laut tak dapat dimiliki oleh negara.7 Pendapat
 ini sejalan dengan konsepsinya mengenai pemilikan (ownership). 
Menurutnya, ownership (termasuk laut) hanya dapat terjadi melalui possession,
 dan possession hanya bias terjadi melalui pemberian atau melalui 
occupation. Occupation atas barang-barang bergerak dapat terjadi melalui
 hubungan fisik atas barang tersebut, sedangkan occupation atas benda 
tidak bergerak dapat terjadi dengan membangun sesuatu di atasnya (“by power of standing and sitting11).
 Karena itu pemilikan hanya dapat terjadi atas barang-barang yang dapat 
dipegang teguh. Dan untuk dapat dipegang diteguh benda-benda tersebut 
harus ada batasnya. Laut adalah sesuatu yang tidak berbatas, karena itu 
tidak dapat diokupasi. Selain itu laut itu cair, dan sesuatu yang cair 
hanya dapat dimiliki dengan memasukkan ke tempat yang lebi padat (peraliud). Dengan demikian, tuntutan pemilikan laut berdasarkan penemuan (discovery), penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription)
 ataupun servitude tak dapat diterima karena semua itu bukan alas an 
untuk memperoleh ownership atas laut. Meskipun demikian, Grotius 
mengakui bahwa anak laut, inner sea, dan sungai sekalipun cair dapat 
dimiliki karena ada batasnya, yaitu tepinya dapat dianggap sebagai per allud.8
2. Mare Clausum
Ajaran
 Grotius mengenai mare liberum sebagaimana disebutkan di atas mendapat 
tantangan dari berbagai penulis sejamannya. Mereka antara lain Gentilis,
 William Welwood, John Borough, Paulo Sarol, dan John Shelden.9
 Tantangan atas ajaran Grotius mencegah kemenangan teorinya atas 
kedaulatan pada bagian-bagian tertentu dari laut bebas pada waktu itu. 
Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori mare liberium hanya dalam satu 
hal, yaitu kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di laut.10
Yang
 terpenting dari para penentang Grotius adalah John Sheldon. 
Penentangnya ini dikemukakan dalam bukunya “Mare Clausum: the Right and 
Dominion In the Sea (1636). Menurut Sheldon, okupasi memang penting bagi
 kepemilikan. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa Negara-negara telah
 menjalankan kekuasaan mereka atas lautan, dank arena itu melalui 
prescription itu dapat dimiliki. Karenanya laut itu bukan mare liberium 
tetapi mare clausum. Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tak dapt 
dimiliki, karena sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair 
diakui dapat dimiliki.11
3. Jalan Tengah
Kenyataan membuktikan bahwa dalam berbagai bidang pertentangan pendapat kerap melahirkan pendapat ketiga yang bersifat ecletic yang mencari jalan tengah dengan menggabungkan sisi-sisi positif dari teori-teori yang saling bertentangan itu.
Dalam
 kaitannya dengan dapat tidaknya laut dimiliki ternyata, kedua teori 
tersebut tak dapat mempertahankan ajarannya dengan kaku dan konsekuen. 
Grotius misalnya, dalam De Jure Bell ac Pacis (1625) menyatakan bahwa laut di sepanjang pantai dapat dimilki sejauh dapat dikuasai dari darat.12 Demikian pula Shelden. Selain mengakui hak Inggris atas Mare Anglicanum juda mengakui adanya hak lintas damai (innocent pessage) di laut-laut yang dituntut itu. 13
Dengan
 demikian, maka pada masa itu telah diakui ada bagian laut yang dapat 
dimiliki, yaitu bagian laut yang sekarang disebut laut wilayah dan 
jalur-jalur laut lainnya seperti jalur perikanan; dan laut yang tak 
dapat dimiliki oleh siapapun (laut bebas). Dalam abad ke 18 semua 
penulias, mengadakan pembedaan laut atas kawasan laut (maritime belt) yang dianggap berada di bawah kekuasaan negara-negara pesisir (the litoral state), dan laut bebas (open sea) yang tidak berada di bawah kekuasaan negara lain.14
 Pontanus seorang ahli hokum Belanda, menyebut laut-laut yang dapat 
dimiliki mare audience, dan laut yang tidak bias dimiliki mare alterium.15
Persoalannya
 adalah berapa jarak laut yang dapat dimiliki. Ini baru dapt dipecahkan 
pada tahun 1702 ketika seorang ahli hokum Belanda, Binkhersoek, 
mengemukakan teori canon shot rule. Menurutnya, laut wilayah 
suatu negara adalah sampai jarak tembakan meriam dari pantai. Tampaknya 
ajaran ini pertama-tama dilandasi dari pengawasan nyata dari pelabuhan 
atau perbentengan terhadap kawasan laut yang berdeatan dengan pantainya.16
Ajaran ini dikemukakan di bukunya De Dominio Maris Disertasio.17
 namun ajarannya ini belum secara pasti menentukan berapa mil jarak laut
 yang dapt dimiliki oleh negara. Untuk itu para penulis waktu itu 
berupaya mendapatkan patokan yang sama dengan atau pengganti dari jarak 
berdasarkan jangkauan meriam tersebut. Dan, seorang penulis Italia, 
Gallani (1872) mengusulkan batas 3 mil atau 1 league Italia sebagai 
pengganti dari jarak jangkauan meriam tersebut. Batas ini diakui oleh 
Amerika Serikat dalam Notanya kepada Inggris dan Perancis. Pada 8 
Nopember 1873, dalam kaitannya dengan netralitas, dan selama dan setelah
 perang Napoleon, prize court (pengadilan penyitaan kapal) Inggris dan 
Amerika Serikat menerjemahkan the canon shoot rule, ke dalam 3 mil laut,18 atau tiga kali 1852 meter.19
Sementara
 itu sepanjang abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 sebagai akibat dari 
pelayaran negar-negara lain (selain Portugal, Spanyol dan Belanda = pen)
 perjuangan kebebasan di laut semakin berat, dan pada akhir kwartal 
pertama abad ke-19 kebebasan di laut bebas itu diakui secara semesta. 
Inggris sendiri yang semula menjadi penentang konsep laut bebas 
mengurangi tuntutan kedaulatan maritimnya, dan  menjadi pemimpin baru kebebasan di laut bebas.
BAB III
UPAYA UPAYA PERLUASAN LEBAR LAUT WILAYAH
Sebagaimana
 telah dikemukakan sebelumnya, sejak tahun 1702 lebar laut wilayah 
ditetapkan berdasarkan jarak jangkauan meriam yang dipasang di pinggir 
pantai, dan kemudian pada tahun 1872 diterjemahkan oleh Gallani menjadi 3
 mil laut. Walaupun batas lebar laut wilayah ini diterima oleh banyak 
negara aturan 3 mil ini sejak semula tidak dianut secara seragam. Banyak
 negara meggunakan ukuran lain seperti Swedia dan Norwegia menggunakan 
ukuran 4 mil, Spanyol, Italia dan Yunani menggunakan batas 6 mil dan 
Mexico 9 mil.1
Ukuran
 3 mil tersebut dirasakan semakin tidak sesuai lagi dengan perkembangan 
dan kemajuan teknologi dalam bidang persenjataan dan pelayaran. Tuntutan
 bagi peninjauan kembali lebar laut wilayah tersebut semakin tinggi. 
Lebih-lebih dengan munculnya berbagaiorganisasi dan lembaga yang 
membahas masalah-masalah tersebut. Lembaga-lembaga dan organisai 
tersebut adalah:2
B. LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM INTERNASIONAL
1. Institute de Droit Internasional
Institute
 de Droit International telah membahas lebar laut wilayah ini dalam 
siding-sidang di Lausanne (1888), Hamburg (1891), dan Paris (1894). 
Dalam sidangnya di Paris Lembaga ini menerima resolusi yang isinya:
·         Lebar
 laut wilayah untuk kepulauan tidak perlu sama dengan lebar laut untuk 
keperluan lainnya misalnya untuk periklanan dan netralitas.
·         Ajaran
 lebar laut wilayah 3 mil (semula untuk kepentingan pertahanan) sudah 
tak mencukupi lagi untuk kepentingan perikanan (terkait dengan 
kepentingan ekonomi dan kebutuhan hidup penduduk pantai).
·         Kedaulatan negara atas laut wilayahnya diakui, dan tunduk pada hak lintas damai.
·         Lebar laut wilayah secara keseluruhan disarankan 6 mil.
·         Teluk
 sejarah diakui statusnya, dan teluk yang lebar mulutnya kurang 12 mil 
dapat ditarik garis pangkal di mulutnya itu. Lebar laut wilayah dapat 
ditarik dari garis pangkal tersebut, dan tidak lagi mutlak dari garis 
pantai (garis air rendah) seperti ketentuan sebelumnya.
·         Dalam
 masa perang dapat ditetapkan kawasan netral (neutral zone) di luar 
wilayah 6 mil itu sampai jarak tembakan meriam sesungguhnya dari darat.
·         Hak pengejaran (hot pursuit right) dan hak lintas damai (innocent passage sight) diakui.
Namun, dalam sidangnya di Stockholm (1928) lembaga tersebut menyatakan bahwa:
·         Lebar laut wilayah adalah 3 mil, sekalipun batas yang lebih lebar dapat diterima berdasarkan hokum kebiasaan internasional
·         Panjang garis pangkal ditetapkan 10 mil.
·         Prinsip
 archipelago diakui keberadaannya, tetapi jarak antara pulau-pulau tidak
 boleh melebihi dua kali lebar laut wilayah. Dengan demikian maka 
kepulauan yang berbentuk kepulauan dapat diukur dari garis-garis pangkal
 yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar dari 
kepulauan tersebut.
2. Perhimpunan Hukum Internasional (International Law Association)
Pembicaraa
 tentang hokum laut terutama penentuan lebar laut wilayah telah 
dilakukan lembaga ini dalam berbagai konferensinya, di London 1887, 
Jenewa 1892 dan Bussel 1895.
Dalam sidangnya di Brussel antara lain ditetapkan sebagai berikut:
·         Prinsip lebar laut wilayah 6 mil;
·         Garis pangkal mulut teluk 10 mil;
·         Negara pantai berhak menetapkan sendiri zona netralnya;
·         Selat
 yang kedua tepinya milik suatu negara menjadi milik negara tersebut. 
Jika ada kantong laut bebas di tengahnya, maka kantong-kantong ini  juga diakui sebagai milik negara tersebut;
·         Hak hot pursuit negara pantai juga diakui.
Namun, dalam sidangnya di Stockholm 1924 ILA menetapkan sabagai berikut:
·         Lebar laut wilayah 3 mil;
·         Garis pangkal mulut teluk 12 mil;
·         Hak lintas damai (innocent passage right) diakui.
3. Harvard Research
Dalam
 rangka menghadapi hokum laut yang direncanakan diselenggarakan di Den 
Haag pada tahun 1930 oleh Liga Bangsa-Bangsa, Universitas Harvard 
mengadakan riset sejak tahun 1927, dan pada tahun 1929 universitas ini 
menghasilkan sebuah dokumen.
Di dalam dokumen ini antara lain menyatakan:
·         Prinsip
 lebar laut wilayah3 mil diterima dengan pengertian bahwa negara-negara 
pantai masih dapat melaksanakan kekuasaan mereka di luar batas tersebut 
misalnya untuk keperluan perikanan dan lain-lain.
·         Panjang maksimum garis pangkal untuk adalah 10 mil.
·         “Hak hot pursuit” di laut bebas dan “hak innocent passage” di laut wilayah diakui. 
4. Lembaga Hukum Internasional Amerika (American International Law Institute)
Di dalam sidangnya di Rio de Jeneiro tahun 1927 badan ini mengakui:
a.       Negara pantai berdaulatatas laut wilayahnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, dan udara di atas laut wilayah tersebut;
b.      Bahwa kepulauan merupakan satu kesatuan dank arena itu perlu dilakukan sebagai satu kesatuan.
Namun, badan ini gagal menetapkan berapa lebar laut wilayah tersebut menurut hokum internasional.
-LIGA BANGSA-BANGSA
Tidak
 adanya keseragaman dalam penentuan lebar laut wilayah, telah menarik 
perhatian Liga Bangsa-Bangsa. Oleh karena itu sejak tahun 1924 telah 
diadakan riset yang mendalam guna menyusun kodifikasi hokum laut 
tersebut melalui suatu konferensi internasional.3 Tujuan 
utamanya adalah untuk mengkodifikasikan hokum laut tersebut dari 
berbagai buku yang ada, bukan untuk membuat (law-making) hokum yang 
baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman dan keadaan.
Dari hasil tersebut kemudian dalam tahun 1929 berhasil disusun sebuah Basis of Discussion yang akan dibahas dalam konferensi tersebut. Dalam Basis of Discussion
 tersebut antara lain ditegaskan bahwa kedaulatan negara pantai di atas 
laut wilayahnya diterima dan prinsip lebar laut wilayah 3 mil diterima 
dengan kemungkinan mengadakan “contiguous zone” sejauh 12 mil dari 
pantai. Dalam zona yang disebut terakhir ini negara-negara pantai dapat 
melakukan kewenangan tertentu dan terbatas untuk maksud-maksud tertentu 
seperti; untuk kepentingan karantina kesehatan, pabean, perikanan dan 
lain-lain.
Selanjutnya
 pada tanggal 13 Maret-13 Aprl 1930 dilangsungkan Konferensi Hukum Laut 
di Den hag untuk pertama kalinya. Konferensi ini mengakui:
·         Kebebasan berlayar di laut bebas;
·         Kedaulatan negara pantai atas laut wilayahnya;
·         Hak innocent passage diakui.
Akan
 tetapi, konferensi ini gagal menetapkan hal yang paling poko yang 
menjadi dasar diadakannya konferensi ini yakni membakukan lebar laut 
yang seragam.
- PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya pada tanggal 21 Nopember 1947 menerima sebuah Resolusi untuk membentuk International Law Commission (ILC)
 yang terdiri atas 15 orang ahli hokum “ yang memiliki kompetensi yang 
diakui dalam hokum internasional” dan mewakili “bentuk-bentuk peradaban 
utama dan system hokum penting di dunia”. Salah satu tugas ILC adalah 
mengkodifikasikan hokum internasional.
Untuk tujuan ini, ILC mulai bersidang pada 1949. Hasilnya, pada tahun 1955 dapat dirumuskan proisiona; draft
 mengenai berbagai aspek hokum laut. Dalam sidangnya, 30 April sampai 4 
Juli 1949, ILC hanya sampai pada suatu pendapat bahwa hokum laut 
internasional tidak memperbolehkan pelebaran aut wilayah sampai 12 mil, 
padahal pada waktu itu praktik negara-negara memperlihatkan penetapan 
lebar laut wilayah berkisar dari 3 sampai dengan 12 mil. Dari 
hasil-hasil siding yang dilaksanakan sejak tahun 1949 tersebut dapat 
disusun final draft, yang akan menjadi dasar pembahasan pada Konferensi 
Hukum Laut pertam di Jenewa dari tanggal 24 Februari sampai dengan 27 
April 1958.
Sementara
 itu, tanggal 13 Desember 1957 Indonesia mengeluarkan Deklarasi mengenai
 Perairan Wilayah Indonesia. Deklarasi ini, yang dikenal dengan 
Deklarasi Juanda, menetapkan lebar laut wilayah Indonesia 12 mil, diukur
 dari garis-garis yang menghubungkan titik-terluar yang menghubungkan 
pulau-pulau terluar Indonesia.
Deklarasi Juanda tentang Perairan Wilayah Indonesia 1957 didasarkan apda pertimbangan-pertimbangan:
1)      Bahwa
 bentuk geografi Republik Indonesia sebagainegara kepulauan yang terdiri
 dari beribu-ribu pulau memerlukan pengaturan tersendiri;
2)      Bahwa
 bagi kesatuan wilayah (teritorial) Indonesia semua kepulauan serta laut
 yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang 
bulat;
3)      Bahwa penetapan laut-laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah colonial sebagaiman termaktub dalam territorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan kemanan negara Republik Indonesia;
4)      Bahwa
 setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil 
tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi kebutuhan dan
 keselamatan negaranya.
Cara pengukuran ini mengubah cara pengukuran klasik laut wilayah Indonesia yang didasarkan Territorie Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939
 yang diukur dari masing-masing-masing pulau pada saat air surut (low 
waterlijn). Selain untuk menjamin keselamtan dan keamanan negara 
Indonesia, Deklarasi ini memiliki makna yang sangat penting bagi 
pertahanan Indonesia, karena kita sedang berkonfrontasi dengan Belanda 
di Irian Barat, dan juga mengandung segi-segi politik.
Mengenai segi politik ini, Mochter kusumaatmadja menyatakan sebagai berikut:
1)      Dari
 teks pernyataan pemerintah tanggal 13 Desember 1957 dan pertimbangan 
yang melandasi tindakan tersebut jelas bahwa segi keamanan dan 
pertahanan merupakan aspek yang penting sekali bahkan merupakan salah 
satu sendi pokok kebijakan Pemerintah mengenai perairan Indonesia.
2)      Sendi
 pokok lainnya adalah menjamin integritas teritorial Indonesia sebagai 
satu kesatuan yang bulat yang meliputi unsure tanah (darat) dan air 
(laut) menggambarkan segi politik yang tak kalah pentingnya.
Di
 samping segi-segi politik dan pertahanan keamanan tersebut, implikasi 
ekonomi tentu tak boleh diabaikan. Sebab, dengan Deklarasi Juanda, luas 
Indonesia menjadi dua kali lipat. Dan ini, dari segi ekonomi penting 
artinya, seperti bertambah luasnya kawasan perikanan laut, dan 
pengembangan sumber-sumber daya alam seperti pertambangan minyak dan gas
 lepas pantai. 
Pernyataan
 Pemerintah Indonesia yang menetapkan garis pangkal ditarik garis-garis 
yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar tidak 
bertentangan dengan hokum positif yang berlaku. Sebelumnya, Norwegia 
pada 12 Juli 1951 mengeluarkan Norwegia Royal Decree yang menetapkan garis pangkalnya berdasarkan straight baseline from point to point, jadi tidak berdasarkan low water-marks. Cara penarikan garis pangkal ini diterima oleh Mahkamah Internasional dalam putusannya pada Anglo Norwegian Fisheries Case antara
 Norwegia dan Inggris di laut Utara, 18 Desember 1951. Dalam membenarkan
 cara penarikan garis pangkal ini, Mahkamah Internasional menyatakan 
bahwa Royal Decrea ini tidak bertentangan dengan hokum Internasional karena garis pangkal untuk laut wilayah tidak mutlak menurut low water-mark melainkan cukup mengikuti the general direction of the cost4.
Keputusan ini didorong oleh geographical realities, and economic interest peculiar to a region, the rality and importance of which are clearl evidenced by long usage.
 Meskipun keadaan Indonesia berbeda dengan garis-garis yang 
menghubungkan titik ujung terpanjang pada kasus pertikaian 
Norwegia-Inggris ini, yakni 44 mil, namun keadaan Indonesia sebagai 
negara kepulauan cukup unik untuk membenarkan cara penarikan garis 
pangkal demikian. Yang penting dalam Anglo Norwegian Fisheries Case
 ini adalah suatu cara penarikan garis pangkal lain daripada cara klasik
 (yakni menurut garis air rendah) telah memperoleh pengakuan dari 
Mahkamah Internasional5.
BAGIAN II
KEADAAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL
1958-1982
BAB IV
KONFERENSI JENEWA 1958 DAN 1960
A. KONFERENSI JENEWA 1958
Upaya-upaya
 membakukan lebar laut wilayah yang telah dmulai pada konferensi 
kodifikasi hokum laut pertam di Den Haag 1930 terus dilanjutkan. 
Lebih-lebih dengan lahirnya negara-negara baru setelah usainya Perang 
Dunia II kebutuhan akan hokum laut Internasional yang memenuhi 
kepentingan (hokum) nasional mereka semakin memperkuat dorongan untuk 
membakukan lebar laut wilayah tersebut.
Upaya-upaya
 ini dilanjutkan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan, 
sebagaimana telah dikemukanan sebelumnya, pada 1956 Perserikatan 
Bangsa-Bangsa telah menyusun final draft yang akan menjadi dasar dalam pembahasan pada konferensi Jenewa 1958.
Sementara
 itu, sebelum diselenggarakannya konferensi ini, banyak negara di dunia 
yang sedara sepihak menetapkan lebar laut wilayahnya. Selain Indonesia, 
negara-negara lain yang melakukan hal ini antara lain Equador (Law of 21
 February 95) yang menetapkan kepulauan Gallapagos memiliki laut wilayah
 sendiri, yaitu 2 mil dari sekeliling kepulauan tersebut, dan Kuba 
dengan Kepulauan Canariosnya1. 
Sesuai
 dengan praktik yang telah berlangsung sampai saat itu, negara-negara 
dapat memperluas wilayahnya, atau laut wilayahnya dengan:2
a.    Memperlebar laut wilayah lautnya sampai lebar 6, 12, 30, 60 mil dst, diukur dari garis air rendah;
b.   Di sampai laut wilayah dapat ditetapkan contiguous zone untuk kepentingan-kepentingan tertentu seperti pencegahan penyelundupan, imigrasi dan sebagai;
c.    Menetapkan bagian tertentu menjadi perairan pedalaman;
d.   Menentukan bahwa negara bersangkutan berdaulat atas perairan di atas landas kontinen atau landas kepulauannya (continental shelf atau insular shelf) dengan batas kedalaman laut 200 mil.
Konferensi
 Jenewa 1958 diselenggarakan pada tanggal 24-27 April 1958, diketuai 
Pangeran Wan Waltanyakorn dari Thailand, dihadiri 86 negara termasuk 
Indonesia.3 Dalam konferensi ini dibentuk 4 panitia yang bertugas membahas hal-hal berikut:
1.      Komite I mempelajari soal laut wilayah dan zona tambahan;
2.      Komite I mempelajari rezim laut bebas;
3.      Komite I mempelajari soal perikanan dan pelestarian sumber daya alam;
4.      Komite I mempelajari soal landas kontinen.
Selain
 itu dibentuk pula sebuah Panitia Istimewa, yang bertugas membahas akses
 bebas ke laut bagi negara-negara yang tidak memiliki laut (the free access to the sea of the landlocked countries).
Konferensi
 ini dimanfaatkan Indonesia sebaik-baiknya untuk memperjuangkan 
pembakuan lebar laut wilayah menjadi 12 mil dan memperkenalkan konsep 
Indonesia mengenai negara kepulauan sebagaimana tercantum dalam 
Deklarasi Juanda 1957. Sesuai dengan ini, maka pendirian Indonesia pada 
konferensi tersebut adalah sebagai berikut:4
1.      Secara
 umum dapat dikata bahwa pendirian Indonesia dalam menghadapi soal lebar
 laut wilayah sesuai dengan kedudukannya sebagai negara yang masih lemah
 dalam lapangan pelayaran baik niaga maupun perikanan. Kenyataan ini 
menyebabkan Indonesia menganggap batas 3 mil tidak memadai dan harus 
ditinggalkan. Untuk menggantikannya Indonesia menyadari pentingnya batas
 yang seragam (uniform limit), namun, lebih baik jika samapi suatu batas
 maksimum setiap negara diperbolehkan menteapkan lebar laut wilayahnya 
menurut keadaan dan kebutuhan masing-masing.
Kedudukan
 Indonesia sebagai negara maritime lemah dengan garis pantai yang sangat
 panjang, juga menentukan sikap delegasinya atas prinsip kebebasan di 
laut bebas (freedom of the high sas) tak boleh lagi ditafsirkan 
secara liberal tetapiharus memperhatikan sungguh-sungguh kepentingan 
negara pantai. Pendirian ini ditentukan pula oleh Deklarasi Pemerintah 
mengenai perairan Wilayah Indonesia, 13 Desember 1957.
Untuk
 itu Indonesia harus memperjuangkan agar konferensi menerima tambahan 
satu pasal yang mengatur laut wilayah di sekitar kepulauan sebagai satu 
kesatuan.
Sebagai
 konsekuensi dari Deklarasi Pemerintah RI 13 Desember 1957, harus pula 
diperjuangkan agar konferensi tidak menentukan batas maksimum panjangnya
 straight base line from point to point. Dan sesuai dengan deklarasi, harus diperjuangkan agar lebar laut wilayah dapat ditetapkan menjadi 12 mil.
2.      Sesuai pendirian ini maka tugas dan kewajiban delegasi Indonesia, yaitu:
a.    Menjual
 konsep archipel kepada para peserta konferensi, (I) maksimal konferensi
 mengambil keputusan mengenai archipelago principles yang menguntungkan 
Indonesia sehingga memperkuat dasar hokum Deklarasi Pemerintah RI 13 
Desember 1957 tersebut, (II) minimal, harus diupayakan adanya pengertian
 negara-negara lain mengenai dasar-dasar dari deklarasi ini.
b.   Teks pasal 5 mengenai straight base line from point to point usulan
 IIC sedapat mungkin dipertahankan. Yang terpenting agar diupayakan 
tidak ada keputusan mengenai batas maksimum garis pangkal lurus ini.
c.    Delegasi
 Indonesia harus mengusulkan atau mendukung usul yang member kebebasan 
setiap negara menetapkan lebar laut wilayahnya sendir sampai batas 12 
mil.
d.   Hak lintas damai terutam bagi kapal perang, harus dititikberatkan pada kepentingan negara-negara pantai
Konferensi
 ini gagal menetapkan lebar laut wilayah yang seragam bagi masyarakat 
Internasional. Ini, dapat dilihat dari hasil pemungutan suara mengenai 
hal tersebut, yaitu:5
·      Usul Kanada, paragraf 1 (6 mil), 11 pro, 48 kontra, 23 abstain, ditolak;
·      Usul Kanada, paragraf 2 (lajur perikanan), 37 pro, 25 kontra, 25 abstain, diterima;
·      Usul Mexico: 35 pro, 35 kontra, 25 abstain. Berdasarkan pasal pasal 45 Rules of Procedures, maka usul ini ditolak;
·      Usul USSR – ditolak, dengan hanya 29 pro, 44 dan 9 abstain.
·      Usul Kolombia, ditolak dengan 33 pro, 42 kontra dan 7 abstain;
·      Usul Swedia ditolak (33 suara pro, 42 kontra dan 4 abstain)
·      Usul USA ditolak (38 kontra, 36 pro dan 6 abstain).
Kegagalan
 ini, sebagaimana dengan konferensi Den Haag, disebabkan karena 
pertentangankepentingan negara-negara peserta. Dalam konferensi ini 
Amerika Serikat dengan dukungan negara-negara maritime lainnya 
menghendaki laut wilayah yang sesempit mungkin, karena itu mereka 
menghendaki diterimanya batas 3 mil; sebaliknya negara-negara sedang 
berkembang dan negara non maritime lainnya, menghendaki lebar laut 
wilayah melebihi 3 mil dan mengusulkan 12 mil.6 Sekalipun 
mengalami kegagalan, namun Indonesia dapat memperkenalkan 
konsep-konsepnya dalam rangka pembelaan terhadap Deklarasi Juanda 1957.
Konferensi, sekalipun gagal menetapkan pembakuan lebar laut yang berlaku semesta, dapat menghasilkan 4 konvensi, yaitu:
1.   Konvensi tentang Laut Wilayah dan Jalur Tambahan (Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zones).
2.   Konvensi tentang Laut Beas (convention on the High Seas).
3.   Konvensi tentang Perikanan dan Pelestarian Sumberdaya Hayati Laut (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas).
4.   Konvensi tentang landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf).
B. KONFERENSI JENEWA 1960
Dua
 tahun setelah konferensi Jenewa 1958, diadakan Konferensi Hukum Laut II
 di Jenewa, 1960. Focus utama konferensi ini adalah menetapkanlebar laut
 wilayah yang seragam bagi semua negara, yang gagal dicapai pada 
Konferensi Jenewa I 1958. Konverensi ini dihadiri 88 negara termasuk 
Indonesia.
Dalam
 rangka memperjuangkan keberhasilan tuntutannya selaras dengan ketentuan
 Deklarasi Juanda 1957, Indonesia mengeluarkan undang-undang yang 
mengukuhkan tuntutan ini, yakni Undang-undang No. 4/Prp/1960 tentang 
Perairan Indonesia, 18 Februari 1960.
Pengundangan
 perairan wilayah Indonesia menjelang konferensi Jenewa 1960 ini 
memperlihatkan perubahan sikap Indonesia disbanding dengan keadaan dan 
suasana sekitar 13 Desember 1957. Jika pada akhir 1957 rencana 
konferensi Jenewa I 1958 menyebabkan penundaan pengundangan konsep 
nusantara, maka rencan penyelenggaraan Konferensi Jenewa 1960 justru 
mendorong Pemerintah mengundang perairan Indonesia sebelum 
dilaksanakannya konferensi tersebut.
Penundaan
 pengundangan konsepsi nusantara pada 1957 adalah untuk melihat reaksi 
masyarakat internasional terhadap pernyataan Indonesia mengenai perairan
 wilayahnya sebelum dimasukkan ke dalam system hokum nasionalnya. 
Sementara kegagalan konsep negara kepulauan (nusantara) memperoleh 
pengakuan Internasional pada tahun 1958 menyadarkan Pemerintah, bahwa ia
 tidak dapat menyandarkan jaminan pengakuan hanya melalui suatu 
konferensi internasiona. Dua tahun berlalu, tidak menunjukkan perubahan 
penting dalam sikap masyarakat internasional terhadap hokum laut. Dan, 
kenyataan bahwa tahun 1960 akan diadakan Konferensi Hukum Laut II, 
semakin mendorong Indonesia mempercepat diundangkannya UU No. 
4/Perpu/1960.7
Dengan
 demikian, pengundangan UU No. 4/Perpu/1960 dilandasi pengalaman bahwa 
konferensi tersebut tak dapat diharapkan mengambil keputusan yang 
mwnguntungkan negara-negara penganut prinsip kepulauan. Ini, karena 
banyak hal belum jelas mengenai “kepulauan” tersebut sebagai konsep 
dalam hokum laut, juga negara-negara yang berkepentingan langsung dengan
 rezim kepulauan ini tidak banyak. Di Asia misalnya, yang dapat ditunjuk
 sebagai negara kepulauan hanya Indonesia, Filipina dan Jepang. Yang 
terakhir ini, sekalipun merupakan negara kepulauan tetapi tampaknya 
merasa tak berkepentingan dengan konsep negara kepulauan. Selain factor 
luar ini, factor dalam negri juga meningkatkan keyakinan atas kebenaran 
konsep nusantara bagi Indonesia terutama dari kalangan politisi dan 
angkatan laut; dan bertambahnya keyakinan bahwa penerapan konsepsi ini 
dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga, khususnya lintas damai
 kapal-kapal asing akan mengurangi tantangan terhadap konsepsi perairan 
nusantara.
Berbeda
 dengan pertimbangan Deklarasi Juanda 1957 yang dilandasi oleh 
kepentingan politik, keamanan dan pertahanan, maka UU No. 4/Prp/1960 
lebih menekankan kepada kepentingan ekonomi dan pengamanan sumber 
kekayaan alam baik hayati maupun non hayati. Ini dapat dilihat pada 
asas-asas pokok yang dapat disarikan dari Undang-Undang ini, yaitu:8
1.   Untuk
 menjamin dan mengaskan kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan
 ekonomi Indonesia, ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan
 titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar;
2.   Jalur laut wilayah selebar 12 mil diukur terhitung dari garis pangkal lurus ini;
3.   Negara
 berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis 
pangkal lurus ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dengan 
segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
4.   Hak
 lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara 
dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu 
keamanan dan ketertibannya.
Dengan
 keluarnya UU No. 4/Prp?1960 ini, maka konsep negara kepulauan sebagai 
konsep hokum mencapai bentuk terpentingnya yang member makna atau 
kerangka hokum dan wilayah terhadap wawasan filosofis Indonesia yang 
berdasarkan pada konsep kesatuan tanah, alor dan penduduknya.9
Perlu
 diketahui bahwa dalam Konferensi Hukum Laut II ini diajukan beberapa 
usul penting oleh negara-negara peserta, di antaranya:10
a.    Usul Amerika Serikat-Kanada menyarankan 6 mil laut wilayah ditambah 6 mil exclusive fishing zones (tanpa ketentuan traditional fishing) dikalahkan dengan satu suara, yaitu 54 setuju, 28 menentang, dan 1 abstain.
b.   Golongan 12 mil termasuk Indonesia, ditolak dengan 39 setuju, 36 menentang dan 18 abstain;
c.    Golongan yang hanya mengakui 12 mil wilayah perikanan saja dikalahkan dengan 38 setuju, 32 menentang dan 18 abstain.
Dengan
 tidak dicapainya kesepakatan para peserta mengenai lebar laut yang 
seragam, maka konferensi ini mengalami nasib yang sama dengan KOnferensi
 Hukum Laut I 1958. Jadi konferensi inipun mengalami kegagalan 
menetapkan lebar laut yang baku, yang berlaku bagi semua negara. 
Akibatnya, maka negara-negara menentukan sendiri lebar laut wilayahnya.
BAB V
PEMBAGIAN KAWASAN LAUT SETELAH TAHUN 1960
Dengan
 gagalnya Konferensi Hukum Laut II 1960, maka berlakulah keempat 
konvensi yang dihasilkan oleh KOnferensi Hukum Laut I 1958. Selain itu, 
berlaku pula ketentuan-ketentuan berikut:1
a.    Konvensi-konvensi
 internasional yang diprakarsai IMCO, khususnya konvensi-konvensi 
mengenai keselamatan pelayaran dan pencegahan pencemaran laut karena 
minyak atau bahan-bahan berbahaya lainnyayang berasal dari kapal.
b.   Konvensi-konvensi
 internasional lainnya yang mengatur berbagai aspek hokum laut misalnya 
Konvensi-konvensi Brussel tentang Hukum Laut, Deklarasi Stockholm 
tentang Lingkungan Hidup, Perjanjian Moskow (1963) yang melarang 
percobaan senjata nuklir di angkasa luar, di udara dan di bawah 
permukaan laut, Perjanjian Pelarangan Penempatan Senjata Nuklir di Bawah
 Laut (1970 dan lain-lain.
c.    Berbagai
 konvensi regional yang menetapkan aturan-aturan spesifik tentang 
persoalan-persoalan laut yang berlaku secara regional, misalnya Konvensi
 Pencegahan Dumping.
d.   Hukum
 laut tradisional, berupa kebiasaan-kebiasaan hokum di masa lalu yang 
tidak bertentangan dengan konvensi-konvensi modern, serta pendapat para 
ahli terkemuka dalam hokum internasional yang masih ada relevansinya 
dengan situasi dan keadaan dunia sekarang.
Pembagian
 kawasan laut sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara 
vertical dan secara horizontal. Secara horizontal kawasan laut dibagi 
atas perairan pedalaman, laut wilayah dan jalur tambahan, dan laut 
bebas. Secara vertical, terkait dengan udara di atas air laut (water column), kolom air laut, dasar laut dan tanah di bawahnya.
A. PENDEKATAN HORIZONTAL
1. Perairan Pedalaman
Perairan
 pedalaman adalah perairan yang terletak di sisi dalam garis pangkal 
atau perairan yang menuju kea rah darat dari garis pangkal.
Garis
 pangkal, adalah garis tempat mulai diukurnya laut wilayah dan jalur 
tambahan. Garis pangkal dibedakan atas garis pangkal biasa (normal baseline) dan garis pangkal lurus (straight baseline). Garis pangkal biasa adalah garis pangkal yang penentuannya atau penarikannya didasarkan pada air surut (low watermarks).
 Adalah garis pangkal lurus, adalah garis tegak lurus yang menghubungkan
 titik-titik terluar pulau terluar dari gugusan kepulauan, mulut teluk 
atau sungai atau lekukan-lekukan dalam lainnya, tempat mulai diukurnya 
laut wilayah dan jalur-jalur lainnya. Hanya garis pangkal lurus yang 
menimbulkan perairan pedalaman.
Berbeda
 dengan laut wilayah, dalam perairan pedalaman tidak ada hak lintas 
damai, kecuali jika perairan pedalaman itu dimiliki oleh negara 
kepulauan.2 perairan pedalaman ini meliputi pelabuhan, danau, sungai,3 teluk, dan laut pedalaman (inland seas), yakni laut yang terkurung oleh garis pangkal tersebut.4
Pengukuran
 garis pangkal teluk, tergantung pada jenis teluk bersangkutan. Terkait 
dengan hal ini, ada beberapa macam teluk, yaitu:5
a. Teluk yang seluruh tepinya berada di bawah kedaulatan satu negara.
Menurut
 Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Wilayah, teluk adalah suatu lekukan 
pantai yang lebih dari setengah lingkaran garis tengahnya adalah garis 
lurus yang ditarik melintasi mulutnya (pasal 7 (2)). Jika lebar mulutnya
 melebihi 24 mil, maka dapat ditarik garis pangkal lurus dari garis 
mulut teluk tersebut, dan perairan yang terletak di sebelah garis pantai
 dari garis pangkal lurus adalah perairan pedalaman, dan laut wilayah 
dapat ditarik dari garis pangkal lurus tersebut ke arah laut.
b. Teluk yang tepi-tepinya dimiliki oleh beberapa negara
Teluk
 jenis ini tidak diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tetapi diatur oleh 
hokum kebiasaan internasional. Berdasarkan ketentuan hokum kebiasaan 
ini, garis pangkal untuk penentuan laut wilayah diteluk tersebut 
biasanya mengikuti arah lekukan pantai kecuali ada perjanjian-perjanjian
 lain di antara negara-negara pemilik teluk tersebut.
c.  Teluk Sejarah (historical bays)
Dalam
 kasus teluk sejarah, ketentuan batas maksimal 24 mil tidak berlaku. 
Dalam hal ini beraapun lebar mulut telluk tersebut (kadang-kadang lebih 
dari 100 mil) dianggap sebagai milik negara pantai bersangkutan jika 
menurut sejarah negara pantai ini telah memperlakukan teluk sebagai 
miliknya, atau diletakkan di bawah kedaulatannya dan telah melaksanakan 
kedaulatannya secar efektif. Di antara teluk-teluk sejarah yang terkenal
 adalah: Chesapeake Bay dan Delaware Bay di Amerika Serikat, Peter the 
Great Bay (dekat Vladivostok di Rusia, Pohay Bay (RRC), Spencer Bay, 
Shark Bay dan Vincent Bay (Australia).
Menurut
 Konvensi Jenewa 958 tentang Laut Wilayah dan jalur Tambahan, penarikan 
garis pangkal lurus ini harus dilakukan secara wajar, yaitu dalam 
keadaan dan cara-cara sebagai berikut:
·      Jika pantai itu merupakan lekukan yang sangat dalam dan memotong (is deeply indented and cut into) atau jika di sepanjang pantainya terdapat gugusan pulau-pulau (fring islands along the coast);
·      Penarikan garis pangkal tersebut tidak boleh terlalu menyimpang dari arah umum pantai (the general direction of the coast)
 dan bahwa daerah laut yang terletka di daerah pantai dari garis pangkal
 tersebut harus cukup berkaitan erat dengan ranah daratan (must be sufficiently closely linked to the land domein);
·      Elevasi surut (low-tide elevation),
 yaitu endapan-endapan laut yang menonjol ke permukaan air laut pada 
saat air surut tetapi menghilang pada sat air pasang, kecuali telah 
dibangunan di atasnya mercusuar atau bangunan yang selalu berada di 
permukaan laut; 
·      Kepentingan ekonomi khusus di kawasan itu (economic peculiar to the region) dapat diperhitungkan untuk menarik garis pangkal;
·      Garis pangkal tersebut harus dinyatakan dengan jelas dalam peta dan diumumkan sewajarnya.
Di
 perairan pedalaman negara pantai memiliki kedaulatan mutlak, dan 
yurisdiksi untuk menegakkan hukumnya terhadap kapal asing sekalipun 
otoritas negara bendera dapat bertindak jika terjadi kejahatan di atas 
kapal tersebut.
Terkait
 dengan yurisdiksi ini tampak ada tumpang tindih yurisdiksi antara 
negara pantai dan negra bendera. Tumpang tindih ini juga dapat dilihat 
dalam kasus berikut:6
dalam R. V. Anderson, 1868 the Count Criminal Appeal, menegaskan pembunuhan tidak berencana (manslaughter)di
 atas kapal Inggris di perairan Perancis berada di bawah yurisdiksi 
Inggris sekalipun (si pembunuh) juga berada di dalam wilayah kedaulatan 
pengadilan Perancis (dan pengadilan Amerika berdasarkan pertimbangan 
kebangsaannya), dan dengan demikian dapat dihukum menurut hokum Inggris.
 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Wildenhaus menyatakan bahwa 
pengadilan-pengadilan Amerika memiliki yurisdiksi untuk mengadili 
seorang anggota anak buah kapal Belgia karena membunuh warga negara 
Belgia lainnya ketika kapal tersebut lepas jangkar di pelabuhan Jersey 
City, New York.
Yurisdiksi
 ini juga berlaku terhadap kapal dagang asing. Namun, keadanya sama 
sekali berbeda dengan kapal perang asing. Dalam hal ini pemberian 
wewenang dari negara pantai dan negara bendera diperlukan sebelum negara
 pantai melaksanakan yurisdiksinya di atas kapal dan anak buah kapal 
tersebut.7
2. Laut Wilayah
Laut
 wilayah adalah laut yang terletak pada bagian luar garis pangkal. 
Penetapan laut wilayah tersebut dilakukan dari garis air rendah 
sepanjang pantai (normal baseline) atau dari garis pangkal lurus 
(straight baseline). Selain itu, dalam menentukan laut wilayah, berikut 
ini dapat dijadikan sebagai garis pangkal:8
1.   Bangunan-bangunan tetap pelabuhan terluar (the outermost harbor-works);
2.   Tempat berlabuh di tengah laut (roadstadt)
 yang biasanya dipakai untuk bongkar muat atau membuang jangkar oleh 
kapal dapat dimasukkan dalam laut wilayah asalkan bata-batasnya 
ditetapkan dan diumumkan dengan jelas;
3.   Garis air rendah dar elevasi surut (low-tide elevation)
 jika seluruh atau sebagian elevasi surut ini terletak dalam jarak yang 
tidak melebihi laut wilayah, atau jika seluruhnya terletak di luar laut 
wilayah tetapi telah dibangun mercusuar atau bangunan-bangunan tetap 
lain di atasnya yang selalu berada di atas permukaan air (pasal 4 (3)).
Dalam
 Konvensi Jenewa 1958 tidak ditentukan lebar laut wilayah yang dapat 
dimiliki suatu negara. Oleh karena itu, maka seperti keadaan sebelumnya,
 lebar laut wilayah ini beragam, yakni 3 mil, 6 mil, 12 mil, dan ada 
pula yang menetapkan lebar laut wilayahnya 6 mil ditambah dengan zona 
perikanan 6 mil. Indonesia sendiri menetapkan lebar laut wilayahnya 6 
mil, dihitung dari titik terluar pulau terluar. Ini sejalan dengan 
Undang-undang No. 4/Prp/1960.
Setiap
 negara memiliki kedaulatan penuh atas laut wiayahnya. Kedaulatan penuh 
ini meliputi kedaulatan atas ruang udara di atas laut wilayah, air, 
dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam hayati dan non 
hayati yang ada pada kolom air lautnya. Akan tetapi, pada laut wilayah 
ini kapal-kapal asing diberikan hak melakukan lintas damai (innocent passage) kecuali bagi kapal perang.
Lintas dianggap damai (innocent) selama tidak bertentangan perdamaian, ketertiban umum, atau keamanan negara pantai (peace, good order or security of coastalstates)
 dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Jenewa dan 
ketentuan-ketentuan hokum internasional lainnya. Untuk dapat dianggap 
damai, kapal-kapal asing tersebut harus mematuhi aturan-aturan yang 
dibuat negara pantai untuk mencegah mereka menangkap ikan, di laut 
wilayahnya, dan kapal selam harus berlayar di permukaan laut serta 
memperlihatkan benderanya. Sebaliknya, negara pantai berhak mencegah 
pelayaran yang tidak damai, atau menangguhkan sementara waktu lintas 
damai tersebut atas bagian-bagian tertentu dari laut wilayahnya karena 
pertimbangan keamanan kecuali pelayaran melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.9
Di
 Indonesia hak lintas damai ini ditegaskan dalam Deklarasi Juanda dan UU
 No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Di dalam Deklarasi Juanda, 
ditegaskan bahwa lalu lintas kapal asing melalui perairan Indonesia 
dijamin selama tidak merugikan keamanan dan keselamatan bangsa 
Indonesia. Dalam UU No. 4/Prp/1960 ditegaskan bahwa hak lintas damai 
kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara (archipelago waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan dan ketertibannya.10
Selanjutnya,
 sebagai pelaksana dari UU No. 4/Prp/1960 dikeluarkan PP No. 8/1962 
tentang Hak Lintas Damai Kendaraan Air Asing. Pasal 1 dari PP ini 
menyataan bahwa lintas damai kendaraan air asing di perairan Indonesia 
yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp/1960 merupakan laut bebas atau laut
 wilayah Indonesia dijamin.
Berbeda dengan perairan pedalaman, di laut wilayah negara pantai tak dapat melaksanakan yurisdiksi pidana (criminal jurisdiction)
 atas kejahatan yang di kapal sewaktu melakukan lintas damai. Namun, 
jika kejahatan ini dapat mengganggu perdamaian negara pantai atau 
ketertiban laut wilayahnya, atau jika pelaksanaan yurisdiksi ini perlu 
untuk mencegah lalu lintas perdagangan obat bius. Negara pantai juga 
tidak boleh mengalihkan kapal asing yang melewati laut wilayahnya untuk 
melakukan yurisdiksi perdata (civil jurisdiction) terhadap orang 
di kapal tersebut. Negara pantai juga tak boleh menyita atau menahan 
kapal asing yang lewat atau pada waktu berada di perairan negara pantai.
 Dengan demikian penahanan sebagai Sandra juga tidak diperbolehkan.11
3. Jalur Tambahan
Menurut Konvensi Jenewa 1958 negara pantai dapat menetapkan suatu zona yang berdekatan atau jalur tambahan (contiguous zone),
 yang jaraknya tidak boleh lebih dari 12 mil. Jalur tambahan ini pada 
hakekatnya merupakan laut bebas, karena itu di sini tidak ada kedaulatan
 negara pantai. Di sini, negara pantai hanya dapat melaksanakan 
yurisdiksi untuk:
a.    Mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangannya di bidang pabean, keuangan, imigrasi, dan kesehatan.
b.   Menghukum
 pelaku pelanggaran atas peraturan perundang-undangannya yang dilakukan 
di wilayah atau laut wilayah di bidang tersebut.
Selain itu, negara pantaijuga dapat mengambil tindakan-tindakan khusus untuk melindungi benda-benda arkeologi (archeological treasures)12 yang terpendam di dalam laut.
Untuk
 melaksanakan hak-hak ini negara-negara pantai wajib membuat 
aturan-aturan untuk mencegah kapal-kapalnya atau kapal-kapal asing 
mengotori laut baik oleh minyak, limbah radio aktif, dan bahan-bahan 
berbahaya lainnya. Bahkan Konvensi Brussel (1969) member kewenangan 
kepada negara pantai mengambil tindakan di laut bebas untuk mencegah dan
 mengurangi bahaya pengotoran laut yang disebabkan oleh kecelakaan 
kapal.16
B. PEMBAGIAN LAUT SECARA VERTIKAL
Secara vertical laut dibagi atas air laut (water column),
 permukaan dasar laut dan tanah di bawahnya. Air laut (water column) 
telah diuraikan pada waktu pembicaraan pembagian laut secara horizontal 
yang meliputi perairan pedalaman, laut wilayah, jalur tambahan dan laut 
bebas.
1. Permukaan Dasar Laut dan Tanah di Bawahnya
Permukaan
 dasar laut dan tanah di bawahnya meliputi permukaan dasar laut dan 
tanah di bawah perairan pedalaman, laut wilayah, landas kontinen dan 
dasar laut di luar landas kontinen.
a.    Dasar-dasar laut dan tanah di bawah perairan pedalaman dan laut wilayah
Secara
 geografis permukaan dasar laut dan tanah di bawah perairan pedalaman 
merupakan bagian dari landas kontinen, namun, secara yuridis 
bagian-bagian ini merupakan landas kontinen. Menurut pasal 2 Konvensi 
Jenewa tentang laut Wilayah dan Jalur Tambahan, 1958, rejim dasar laut 
di bawah perairan pedalaman dan laut wilayah seluruhnya berada di bawah 
kedaulatan negara pantai, termasuk daerah-daerahnya sendiri dan kekayaan
 alamnya baik yang ada di permukaan dasar lautnya maupun di dalam tanah 
di bawah dasar lautnya. Di sini, tidak ada hak negara lain, seperti 
untuk memasang kabel atau pipa bawah laut.
b.   Landas kontinen
Persoalan
 landas kontinen ini muncul pertama kali pada than 1918, ketika orang 
Amerika untuk pertama kalinya berhasil mengeksploitasi minyak kira-kira 
40 mil dari pantai Mexico. Namun, perkembangan hokum yang terpenting 
terjadi pada tahun 1942 ketika diadakan penandatangan perjanjian antara 
Inggris dan Venezuela yang menentukan garis batas laut masing-masing di 
Teluk Paria untuk memungkinkan masing-masing pihak melakukan eksplorasi 
dan eksploitasi minyak di Teluk tersebut. Dan, pada tahun 1945 Presiden 
Henry S. Trumen mengeluarkan deklarasi mengenai landas kontinen Amerika 
Serikat. Deklarasi ini merupakan deklarasi sepihak pertama terkait 
dengan landas kontinen. Di kawasan ini Presiden Truman menyatakan 
Amerika Serikat berhak untuk mengambil kekayaan alamnya.17
Pernyataan
 Amerika Serikat ini kemudian diikuti oleh Bahama, Jamaika dan Arab 
Saudi pada tahun 1948, Sembilan keamiran di Teluk Parsi yang berada di 
bawah protektorat Inggris pada tahun 1949, dan Australia, 1953.18
 tuntutan landas kontinen oleh Amerika Serikat (1945), dan Australia 
(1953) berkaitan dengan pengelolaan sumber kekayaan alam dasar laut dan 
tanah di bawah landas kontinen, dan tidak mempengaruhi status hokum dari
 perairan di atas landas kontinen sebagai laut bebas. Namun, beberapa 
negara lain seperti Bahama, Arab Saudi dan Pakistan (1950), (India 
(1955) menuntut kedaulatan di atas dasar laut dan tanah di bawah landas 
kontinen, tetapi tetap mengakui kolom airnya sebagai laut bebas.19
 Bahkan ada negara-negara yang menuntut air di atas landas kontinen ini 
sebagai milik mereka. Ini misalnya, dilakukan argenti dalam Deklarasi 9 
Oktober 1946.20
Pada waktu itu belum dirumuskan secara yuridis apa yang dimaksud dengan landas kontinen tersebut.21 Rumusan landas kontinen baru kita jumpai dalam konvensi Jenewa 1958, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1, sebagai berikut:
…...istilah
 landas kontinen digunakan untuk menunjuk (a) dasar laut dan tanah di 
bawah dasar laut kawasan yang berbatasan dengan pantai tetapi berada di 
luar kawasan laut wilayah, sampai kedalaman 200 meter, atau di luar 
batas tersebut sampai dengan kedalaman air masih memungkinkan 
eksploitasi kekayaan alam di kawasan tersebut, (b) dasar laut dan tanah 
di bawah kawasan laut yang sejenisnya yang berbatasan dengan pantai 
pulau.
Dengan
 demikian, maka menurut Konvensi Landas 1958, landas kontinen diartikan 
sebagai kawasan dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar 
laut wilayah sampai dengan kedalaman 200 meter atau dapat diperluas 
sampai di luar batas tersebut asalkan ada kemampuan melakukan 
eksploitasi di situ.
Ketentuan
 terakhir ini menimbulkan masalah, karena dengan perkembangan kemajuan 
teknologi yang sangat maju negara-negara dapat melakukan eksplorasi jauh
 sampai kedalaman 200 meter. Akibatnya, batas yurisdiksi negara di 
kawasan ini menjadi tidak jelas.22 Ketidakjelasan disebabkan 
karena kemampuan negara-negara di bidang teknologi tidak berbeda-beda. 
Lagipula batas tersebut akan selalu berubah-berubah menurut perkembangan
 teknologi negara-negara pantai bersangkutan.23
Selanjutnya,
 dalam pasal 2 ditentukan bahwa: (1) di landas kontinennya negra-negara 
pantai berhak melakukan eksploitasi dan eksplorasi, (2) dan tak satu 
negara lain pun dapat melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi 
tersebut jika negara bersangkutan tidak mampu melaksanakan kegiatan 
tersebut. jadi, hak eksploitasi dan eksplorasi itu benar-benar bersifat 
ekslusif. Hak melakukan eksploitasi dan eksplorasi itu tidak tergantung 
pada pendudukan efektif (effective occupation) maupun kehendak (notional)
 atau pernyataan tegas. Sumber-sumber kekayaan alam yang dapat 
eksploitasi dan eksplorasi di kawasan ini meliputi sumber-sumber mineral
 dan non hayati lainnya di dasar laut dan tanah di bawahnya, organism 
hidup yang termasuk ke dalam spesies sedenter, yaitu organism yang tidak
 bias pindah ke atas atau ke bawah dasar laut kecuali dngan hubungan 
fisik yang tetap dengan dasar laut dan tanah di bawahnya.
Hak-hak
 negara pantai di landas kontinen tersebut tidak mempengaruhi status 
perairan di atasnya sebagai laut bebas, atau status hokum ruang udara di
 atas perairan tersebut.
Konvensi
 Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen tersebut telah diratifikasi oleh 
Indonesia. Namun, ratifikasi ini ditolak oleh Sekjen PBB dengan alas an 
yang sama dengan ratifikasi Konvensi Perikanan, yakni karena Indonesia 
meletakkan reservasi pada pasal-pasal yang tidak boleh direservasi,
 menurut Konvensi tersebut. larangan ini tercantum dalam pasal 1, 2, dan
 3. Dengan demikian, sekalipun menurut Hukum Internasional, Indonesia 
tidak terikat pada Konvensi tersebut, tetapi secara praktis di dalam 
negri, Indonesia telah menyetujuinya dengan pengertian bahwa konsepsi 
landas kontinen hanya berlaku bagi daerah-daerah dasar laut di sekitar 
Indonesia yang terletak di luar perairan nusantara dan laut wilayah 
Indonesia.
Sejalan
 dengan itu, maka pada tanggal 17 Februari1969 Indonesia mengeluarkan 
pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas Kontinen yang 
kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang, yaitu Undang-undang No. 
1/19773 tentang Landas Kontinen Indonesia.
Dengan
 pengundangan tersebut maka kesatuan wilayah Republik Indonesia semakin 
ditegaskan lagi kebulatan dan keutuhannya sehingga kemudian lingkup 
peraturannya pun meliputi dasar laut di bawahnya.25
c.    Daerah dasar laut di luar Landas Kontinen
Pada
 mulanya dasar laut di luar landas kontinen dianggap sebagai bagian dari
 laut bebas. Namun, dalam perkembangan selanjutnya bagian ini dipandang 
sebagai common heritage of mankind (warisan bersama umat manusia).
 Sebagai warisan bersama umat manusia, maka bagian dasar laut ini tidak 
bias dimiliki maupun diletakkan di bawah yurisdiksi suatu negara, tetapi
 harus dimanfaatkan untuk kepentingan semua umat manusia.
Konsep common heritage of mankind
 ini pertama kali disampaikan oleh Prof. Arvid Pardo, Duta Besar Malta 
di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan bahwa perkembangan hokum 
mengenai samudera di masa yang akan datang tidak membiarkan konsep 
tradisonal mengenai tuntutan yang saling bersaingtentang kedaulatan 
negara-negara pantai terhadap laut bebas yang mereka dasarkan pada 
konsep lama dan mencerminkan keadaan teknologi pada akhir abad 
pertengahan. Ia mendesak penerimaan konsep baru yang menjadi dasar bagi 
rejim baru untuk samudera. Konsep baru ini tidak lagi didasarkan pada 
pembagian pokok samudera atas laut yang berada di bawah kedaulatan 
nasional, dan laut bebas yang bebas dari tuntutan yurisdiksi negara 
pantai tetapi mempertimbangkan tatanan hokum baru bagi samudera yang 
bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Konsep ini, kemudian pada tanggal 
17 Desember 1970 diterima dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan 
Bangsa-Bangsa Nommor 2749 (XXV) dengan judul Declaration of 
Principles Governing the seabed and Ocean Floor, and the Subsoil 
thereof, Beyon the Limits of national Jurisdictions. Resolusi yang diterima oleh 108 suara setuju dan 14 suara absen ini menyatakan dengan hidmat:
Dasar
 laut dan dasar samudera, serta tanah di bawahnya, yang berada di luar 
yurisdiksi nasional (selanjutnya disebut kawasan), maupun sumber daya 
kawasan tersebut merupakan common heritage of mankind. Dengan demikian, maka suatu kawasan baru dalam sejarah hokum laut telah lahir.26
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, konsep baru ini memiliki 5 implikasi pokok, yaitu:27
Pertama,
 warisan bersama umat manusia tidak dapat dimiliki. Warisan ini dapat 
digunakan tetapi tidak bias dimiliki (konsep pemilikan fungsional). 
Kedua, penggunaan warisan bersama itu memerlukan suatu system 
pengelolaan yang di dalamnya semua pemakai harus berbagi. Ketiga, konsep
 ini mencerminkan suatu pembagian keuntungan aktif, tidak hanya mencakup
 keuntungan keuangan (financial) tetapi juga keuntungan yang diperoleh 
dari pembagian pengelolaan dan alih teknologi. Dua implikasi terakhir 
ini, pembagian pengelolaan dan pembagian keuntungan, mengibah hubungan 
structural antara negara-negara kaya dan miskin dan konsep bantuan 
pembangunan tradisional. Keempat konsep warisan bersama menyiratkan 
persyaratan untuk tujuan damai (implikasi perlucutan senjata). Dan 
kelima, konsep ini menyiratkan reservasi bagi generasi yang akan datang 
(implikasi lingkungan) (the New International Economic Order and the Law of the Sea, International Ocean Institute Occasional Paper No. 4, p. 10).
2. Bagian Air Laut (Water Colum)
Bagian air laut (water column) telah dibahas sewaktu membicarakan pembagian laut secara horizontal, yaitu perairan pedalaman, jalur tambahan dan laut bebas.
Sementara
 itu terkait dengan bagian air laut telah berkembang suatu konsep hokum 
yang dikenal dengan zona ekonomi eksklusif. Konsep ini timbul karena 
adanya tuntutan atas penguasaan sumber kekayaan yang terdapat di dalam 
zona ekonomi eksklusif tersebut.
Konsep
 zona ekonomi eksklusif ini berasal dari tuntutan negara-negara Amerika 
Latin untuk melakukan eksploitasi, eksplorasi dan pengelolaan sumber 
daya alam tidak hanya pada kawasan yang dikenal sebagai landas kontinen 
tetapi juga pada bagian perairan di atas landas kontinen tersebut.
Tiga
 negara Amerika Latin, yaitu Chile, Equador dan Peru dapat dipandang 
sebagai negara-negara yang merintis lahirnya rezim hokum zona ekonomi 
eksklusif tersebut. Negara-negara ini menuntut eksploitasi dan 
eksplorasi sumber daya laut di Samudera Pasifik (1952) sampai 200 mil 
arti dari garis pangkal. Ketiga negara tersebut dalam deklarasinya pada 
tahun 1952, Santiago Declartaion, menyatakan sebagai berikut:28
Adalah
 kewajiban masing-masing pemerintah untuk mencegah sumber daya alam 
tersebut digunakan di luar yurisdiksinya, sehingga mengancam keberadaan,
 keutuhan dan kelestariannya yang merugikan bangsa-bangsa yang secara 
geografis berada di situ, karena laut mereka mengandung sumber-sumber 
makanan dan bahan-bahan ekonomi penting yang tak dapat digantikan (pasal
 1).
Selanjutnya,
 dalam pasal 2 ditgaskan bahwa Pemerintah Chile, Equador dan Peru 
menyatakan sebagai prinsip kebijakan kelautan internasional mereka bahwa
 masing-masing memiliki yurisdiksi atas kawasan laut yang berbatasan 
dengan pantai mereka sampai tidak kurang dari 200 mil dari pantai 
mereka.
Namun
 sebagai istilah dalam perundang-undang, zona ekonomi eksklusif 
digunakan pertama kali oleh Madagaskar pada tahun 1973, namun, istilah 
ini mengacu kepada landas kontinen. Selanjutnya, Bangladesh pada tahun 
1974 menuntut zona ekonomi eksklusif dalam pengertian yang hampir sama 
dengan istilah yang digunakan sekarang ini. Kostarika mengubah 
konstitusinya dengan menegaskan zone ekonomi eksklusifnya sampai 200 mil
 (1975). Tuntutan-tuntutan berikutnya dilakukan oleh berbagai negar, 
antara lain: Qatar (12 Juni, 1974), Kepulauan Komoro (15 Juni 1976), 
Guatemala (1 Juli 1976), Mexico (31 Juli 1876),  Mozambique
 (19 Agustus 1976), Maladewa (5 Desember 1976), Pakistan (31 Desember 
1876), Norwegia (1 Januari 1977), India (15 Januari 1977), Srilangka (13
 Januari 1977), Perancis (11 Februari 1977), Guyana Perancis (22 
Februari 1977), St. Pierre&Miquelon (Perancis) (25 Februari 1977) 
dan masih banyak lagi negara lainnya, shingga jumlahnya lebih dari 70 
negara.29
Di
 Asia Tenggara, yang pertama kali mengajukan tuntutan atas zona ekonomi 
eksklusif adalah Burma (sekarang Myanmar, 9 April 1977), selanjutnya 
diikuti Vietnam (12 Mei 1977), Republik Demokratik Kampuchea (15 Januari
 1978), Filipina (11 Juni, 1988), Indonesia (21 Maret 1988), Malaysia 
(21 April 1993).30
3. Ruang udara di atas laut
Sebelum
 menguraikan ruang udara di atas laut lebih lanjut terlebih dahulu perlu
 dijelaskan perbedaan antara ruang udara dengan ruang angkasa. Menurut 
hokum internasional hanya ruang udara yang dapat ditempatkan di bawah 
kedaulatan suatu negara.
Persoalannya
 sampai ketinggian berapa ruang udara dapat dijadikan wilayah suatu 
negara. Atas hal ini, terdapat beberapa usul mengenai ketinggian ruang 
udara dapat dijadikan wilayah suatu negara. Usul-usul tersebut adalah, 
sampai ketinggian 60 km (teori aeroneutica), 85-100 km ( garis von 
Karman), 160 km batas terendah penempatan satelit, 100-110 km (saran 
USSR), atau sampai ketinggian yang mampu dikontrol secara efektif oleh 
suatu negara di atas wilayahnya, baik secara fisik maupun secara ilmiah.
 31
Sebagaimana
 ruang udara di atas wilayah darat suatu negara, ruang udara di atas 
perairan pedalaman berada di bawah kedaulatan mutlak negara 
bersangkutan. Dengan kata lain ruang udara di atas wilayah darat, 
perairan pedalaman dan laut wilayah berada di bawah kedaulatan negara 
terkait. Oleh karena itu, suatu negara berdaulat di atas ruang-ruang 
udara ini. 
Menurut
 Konvensi Chicago 1944, setiap negara memiliki kedaulatan efektif atas 
ruang udaranya (Pasal 2). Namun, Konvensi ini juga mengusulkan 5 
kebebasan udara yaitu kebebasan terbang melalui wilayah asing tanpa 
mendarat, mendarat dengan tujuan perdagangan; menurunkan penumpang dan 
pesawat pada lalu lintas negara asing yang bertujuan ke negara asal 
pesawat.
BAB VI
KONVENSI HKUM LAUT III 1974-1982
Sekalipun
 Konferensi 1958 telah berhasil menelurkan 4 Konvensi, namun 
konvensi-konvensi ini segera dirasakan telah using. Selain belum 
tuntasnya pembakuan lebar laut wilayah dan konsep negara kepulauan 
sebagaimana dituntut oleh Indonesia dan Filipina, juga telah muncul 
berbagai rejim hokum baru di bidang hokum laut. Oleh karena itu 
pembaharuan di bidang ini sangat dirasakan perlunya oleh masyarakat 
internasional.
Pembaharuan ini semakin dirasa penting dengan semakin banyaknya  lahir
 negara-negara baru setelah Konferensi Hukum Laut 1960, terutama di 
Benua Afrika. Negara-negara yang baru merdeka ini jumlahnya hamper dua 
kali lipat dari keadaan 1958 (Konferensi Jenewa 1958 dihadiri 86 negara,
 Konferensi Jenewa 1960 dihadiri 88 negara, dan dalam tahun 1970 
terdapat sekitar 140 negara). Negara-negara ini, karena tidak mengikuti 
konferensi-konferensi tersebut merasa kepentingan mereka belum cukup 
terlindungi. Negara-negara baru merdeka ini merasa bahwa Hokum Laut 1958
 lebih banyak mengkodifikasi hokum laut internasional yang lebih banyak 
bersumber pada kebiasaan-kebiasaan hokum negara-negara maritime yang 
telah maju dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan hokum dan kepentingan
 negara-negara berkembang. Selain itu, kenyataannya, Konvesi Jenewa 1958
 tetapi didasarkan pada kebebasan lautan seperti pada masa lalu yang 
lebih mnguntungkan negara-negara yang dapat menggunakan lautan secara 
optimal, yaitu negara-negara maju tersebut. keadaan ini mendorong 
negara-negara berkembang meuntut agar negara-negara pantai memperoleh 
kewenangan seluas dan sebanyak mungkin ke laut demi mengamankan 
sumber-sumber kekayaan alam di sepanjang pantai mereka untuk kepentingan
 rakyat mereka, memelihara lingkungan laut gunamenjaga ekologi di daerah
 pantainya dan memelihara keamanan dan keselamatan pantai dan negaranya.1
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, ada 3 faktor penting yang mendorong diadakannya Konferensi Hukum Laut ketiga, yaitu:2
a.       Banyaknya
 negara berkembang yang baru yang sebagian berasal dari kawasan Afrika, 
Karibia dan Asia Pasifik. Mereka tidak banyak memperkuat kamp 
negara-negara yang ingin memperbarui hokum samudera yang ada yang 
sebagian besar masih didasarkan pada konsep tradisonal. Mereka ini 
bahkan berjalan lebih jauh, dan tidak mau menerima hasil Konvensi Jenewa
 1958 karena merasa tidak memiliki kepentingan karena ketidakhadiran 
mereka di dalamnya. Mereka tidak hanya menginginkan hokum laut yang 
modern tetapi (juga) suatu hokum internasional baru mengenai laut yang 
mencerminkan tatanan hokum internasional baru  tentang lautan.
b.      Pertumbuhan
 ketergantungan umat manusia pada laut sebagai sumber kemakmuran, 
sumber-sumber kekayaan hayati laut berupa mineral termasuk hydrocarbon 
menjadi semakin bertambah penting sebagaimana sumber daya alam darat 
yang teru menerus dihabiskan karena semakin bertambahnya penduduk. 
Kenyataan bahwa kemampuan melakukan eksploitasi atas kekayaan alam 
tersebut sangat tergantung pada teknologi dan modal yang berada dalam 
kepemilikan atau penguasaan negara industry maju menambah kepedulian 
sebagian negara berkembang baru yang kepentingan mereka hanya dapat 
dijamin dengan mengadakan suatu tatanan hokum baru terhadap samudera 
yang lebih adil. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya konsep common heritage of mankind (warisan bersama umat manusia).
c.       Hasrat
 negara-negara maritime atas jaminan kepentingan mereka atas pelayanan 
dan akses yang bebas terhadap sumber daya alam dari gangguan-gangguan 
karena tuntutan yang semakin meningkat oleh negara-negara berkembang 
terhadap laut yang berdekatan dengan dasar laut.
Selain
 itu telah muncul pula masalah-masalah hokum baru selain dari zona 
ekonomi eksklusif yang disebutkan di atas yang memerlukan pengaturan 
lebih lanjut. Masalah-masalah itu adalah:3
·         Masalah passage
Belum
 terpecahkannya masalah lebar laut wilayah selama ini menimbulkan 
masalah bagi negara-negara maritime. Ini karena negara-negara berkembang
 dan bahkan negara-negara maju sendiri sudah banyak meninggalkan konsep 3
 mil. Negara-negara di hard yang membela prinsip kebebasan lautan
 untuk keperluan armada militer mereka menerima lebar laut wilayah 12 
mil dengan penerimaan rejim pelayaran bebas melalui selat-selat yang 
dipakai untuk pelayaran internsional.
·         Masalah kekayaan alam di dasar laut
Semakin
 pesatnya perkembangan di bidang teknologi memungkin dilakukannya 
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di dasar laut yang jauh dari 
pantai. Akibatnya, timbul persoalan mengenai negara mana yang berhak 
mengelola kekayaan alam tersebut mengingat ketentuan-ketentuan Konvensi 
Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang sangat tidak jelas mengenai hal
 ini. Karena ini perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap ketentuan 
Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen tersebut, dan perlu pula 
dikembangkan suatu system hokum baru yang mengatur eksplorasi dan 
eksploitasi kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya yang 
berada di luar yurisdiksi nasional
·         Masalah perlindungan lingkungan laut
Sebagaimana
 diuraikan di atas, laut mengandung berbagai macam kekayaan yang sangat 
penting bagi kehidupan manusia. Di samping mengandung bahan-bahan 
mineral, sumber kekayaan hayati seperti segala jenis ikan dan mamalia 
serta biota laut lainnya, laut juga merupakan salah satu sumber potensi 
penyediaan air tawar. Terjadinya pencemaran laut tentu akan mengganggu 
kehidupan biota laut yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh 
karena itu, perlindungan lingkungan laut sangat penting untuk dilakuakn 
oleh masyarakat internsional. Persoalan perlindungan lingkungan laut 
kian terasa penting terutama dengan dibuatnya kapal-kapal yang 
digerakkan oleh tenaga nuklir.
Persiapan dan Pelaksanaan konferensi Hukum laut III4
Persiapan
 untuk melaksanakan Konferensi Hukum Laut III diserahkan kepada UN 
Seabed Committee berdasarkan Resolusi Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa
 2750 (XXV) yang menetapkan bahwa Konferensi Hukum Laut PBB ketiga akan 
dilaksanakan pada tahun 1973. Komite ini semula bernama the the Committee of Peaceful Uses of the Seabed and Ocean Floor beyond the Limits of National Jurisdiction yang lahir atas inisiatif Maltam pada tahun 1967. Di samping ditetapkan sebagai Panitia Persiapan (Prepatory Committee) berdasarkan resolusi 275 tersebut, jumlah anggota Panitia ini ditambah menjadi 44 orang, didalamnya termasuk Indonesia.
Konferensi
 Hukum Laut tersebut ditugasi untuk membahas: (1) pengaturan hokum 
(rejim) yang mengatur kawasan dan sumber daya alam dasar laut dan dasar 
samudera dan tanah di bawahnya yang berada di luar yurisdiksi nasional; 
(2) ketentuan-ketentuan mengenai laut bebas; (3) landas kontinen; (4) 
laut wilayah, termasuk lebar laut wilayah dan selat internasional; (5) 
perikanan dan perlindungan kekayaan hayati di laut bebas; (6) 
perlindungan kelestarian lingkungan laut, termasuk pencegahan 
pencemaran; dan (7) penelitian ilmiah.
Pada sidang pertama UN Seabed Committee (1971) dibentuk 3 sub komite, yaitu:
1.   Sub
 Komite I menangani masallah penetapan Internasional Seabed Area dan 
pengaturan pengelolaan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya.
2.   Sub
 Komite II menangani masalah hokum laut yang diatur dalam konvensi Hukum
 Laut Jenewa 1958 seperti laut wilayah dan jalur tambahan, laut bebas, 
lingkungan di laut bebas dan landas kontinen termasuk persoalan serta 
perkembangan yang dialami dalam tahun-tahun terakhir ini
3.   Sub Komite III menangani masalah Perlindungan Lingkungan Laut dan Penelitian di Laut.
Delegasi
 Indonesia yang telah mengikuti sidang Seabed Committee sejak 1970 
memusatkan perhatian pada soal pengembangan lanjut dan konsep commo heritage of mankind
 dan masalah-masalah laut wilayah dan selat. Ini karena masalah ini yang
 pertama mendapat perhatian umum peserta konferensi sebagai cerminan 
aspirasi negara-negara berkembang. Sedangkan soal kepulauan yang akan 
dibicarakan dalam kaitannya dengan laut wilayah dan selat internasional 
merupakan dua hal yang terkait langsung dengan kepentingan Indonesia.
Sementara
 itu konsepsi kepulauan mendapat dukungan dari negara-negara kepulauan 
lainnya, yaitu Fiji (1971) dan Mauritius (1972). Dengan demikian, maka 
terdapat 4 negara pendukung konsepsi kepulauan, semuanya merupakan 
anggota Panitia Persiapan. Keempat negara ini dalam sidang musim semi 
Panitia Persiapan (1972) mengajukan usulan yang berisi pokok-pokok 
engenai kepulauan yang dimuat dalam Dokumen A/AC.1.38/SC.II/L.15.
Ada 3 hal pokok yang termuat dalam usul keempat negara kepulauan tersebut yaitu:
1.   Definisi
 negara kepulauan. Dalam definisi ini sekalipun pengertian negara 
kepulauan didasarkan pada pengertian geografi, pada hakikatnya 
pengertian negara kepulauan adalah pengertian politik.
2.   Pernyataan
 asas-asas yang menegaskan bahwa negara kepulauan berdaulat atas 
perairan yang terdapat di dalam garis pangkal lurus yang ditarik di 
antara pulau-pulau terluar. Kedaulatan ini tidak saja meliputi perairan 
tetapi juga mencakup dasar laut (seabed) dan tanah di bawahnya (subsoil) serta ruang udara di atas kepulauan tersebut.
3.   Hak
 lintas damai melalui perairan kepulauan akan diperkenankan asalkan 
sesuai dengan perundang-undangan nasional yang akan memperhatikan 
ketentuan-ketentuan hokum Internasional. Apabila perlu, lintas damai 
tersebut akan dilakukan melalui alur-alur lintas (seafanes) yang dibuat untuk keperluan itu oleh negara kepulauan.
Dalam
 sidang musim gugur, 1973 keempat neara pendukung konsep kepulauan 
tersebut mengajukan usul yang lebih rinci dalam bentuk rancangan 
pasal-pasal mengenai negara kepulauan. Rancangan ini terdiri dari 5 
pasal. Ketentuan paling rinci mengenai kepulauan terdapat dalam Pasal 5.
 Pasal ini terdiri dari 10 ayat, mengatur hal-hal berikut: (1) hak 
negara panati untuk menerapkan alur-alur pelayaran bagi lalu lintas 
kapal asing (ayat1-3); (2) penetapan pola pengaturan lalu lintas kapal (traffic separationscheme)dan
 syarat-syaratnya (ayat 4); (3) wewenang negara pantai untuk menetapakan
 peraturan-peraturan untuk mengatur lalu lintas kapal asing melalui 
perairan negara kepulauan dengan tujuan mencegah gangguan terhadap 
keamanan negara pantai atau kerugian terhadap negara pantai dan 
perairannya dan pemeliharaan perdamaian dan ketertiban di perairan 
negara kepulauan (ayat 5); dan (4) ayat-ayat berikutnya mengatur 
kewajiban kapal asing untuk menaati peraturan yang dibuat oleh negara 
kepulauan termasuk kapal asing, weewenang negara kepulauan untuk 
melarang sementara waktu lintas damai kapal asing melalui perkaitannya 
dalam hal-hal tertentu, dan kewajiban negara kepulauan untuk secara 
tegas memutuskan batas-batas alur pelayaran dan mengumumkannya.
 Sesuai
 rencana, pada akhir Desember 1973 diadakanlah sidang pertama Konferensi
 Hukum Laut Ketiga di New York. Dalam sidang ini dibahas masalah-masalah
 yang berkaitan dengan persoalan procedural dan tata tertib konferensi. 
Tata tertib tersebut didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan dalam 
konferensi-konferensi PBB, misalnya pengorganisasian sidang-sidang 
konferensi dalam sidang-sidang pleno dan sidang-sidang Komite; cara 
pemungutan suaraa, yaitu mayoritas sederhana untuk keputusan-keputusan 
dalam Komite dan mayoritas 2/3 untuk keputusan-keputusan dalam pleno. 
Selain itu dimuat pula cara mengajukan perubahan (amandement) dan usulan (proposal).
Sidang
 kedua diadakan di Caracas, Venezuala, 20 Juni-29 Agustus 1974. Dalam 
sidang ini negara-negara kepulauan mengajukan secara resmi rancangan 
pasal-pasal tetang negara kepulauan seperti yang telah diajukan 
sebelumnya dalam sidang-sidang persiapan.
Sementara
 itu, terdapat suatu perkembangan mengenai konsepsi negara kepulauan. 
Konsepsi hokum negara kepulauan ini diajukan oleh India disokong oleh 
Equador dan Kanada. Konsepsi ini menghendaki diterapkannya asas-asas 
negara kepulauan yang dimiliki oleh suatu negara yang wilayahnya 
sebagian besar merupakan kontinen. Konsep ini diajukan karena India 
memiliki Kepulauan Andaman dan Nicobar, dan Kanada memiliki kepulauan di
 daerah Kutub Utara yang berdekatan dengan pantainya, dan Equador 
memiliki Kepulauan Galapagos di depan pantainya di Amerika Selatan.
Sepintas
 Konsep hokum kepulauan yang diajukan India tidak berbeda dengan yang 
diajukan Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritius. Namun, terdapat 
perbedaan dalam satu hal yaitu  konsep hokum kepulauan yang
 diajukan oleh Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritius yaitu konsep 
hokum tentang negara yang secara keseluruhannya terdiri dari kepulauan 
tanpa ada wilayah-wilayah yang bukan pulau. Sedangkan konsep kepulauan 
yang diajukan India, kepulauan tersebut merupakan wilayah yang sebagian 
besar merupakan bagian dari benua.
Perkembangan
 lainnya adalah munculnya Bahama di kawasan Karibia yang ingin 
menerapkan konsep negara kepulauan, dan keinginan di berbagai kawasan di
 Samudera Pasifik baik yang sudah merdeka maupun yang belum untuk 
menerapkan konsepsi kepulauan tersebut pada kelompok pulau-pulau di 
Samudera Pasifik.
Untuk
 menghindari penolakan konsep kepulauan ini, Indonesia bersama tiga 
negara lainnya berusaha melakukan konsultasi dan loby dengan 
negara-negara lainnya yang mengajukan konsepsi kepulauan yang hamper 
sama itu, agar keutuhan konsepsi negara kepulauan tetap terpelihara.
Selain
 konsepsi negara kepulauan, juga muncul usulan dari negara-negara 
pantai. Yang terpenting adalah usulan mengenai zona ekonomi eksklusif 
(200 mil) dan landas kontinen.
Sebagai
 hasil dari sidang Caracas ini, berbagai usul tersebut dihimpun dan 
dirumuskan oleh pimpinan konferensi menjadi apa yang disebut main trend of law of the sea. Salah satu yang dimuat dalam main trend ini adalah konsep negar kepulauan yang berasal dari Indonesia bersama kelompoknya dan kelompok negara pengusul lainnya.
Dalam
 sidang ketiga yang diadakan di Jenewa pada tahun 1975 diselenggarakan 
konsultasi efektif antar kelompok. Yang menjadi dasar dalam 
konsultasi-konsultasi ini adalah main trend yang telah dirumuskan
 dalam sidang kedua tersebut. karena sampai saat-saat terakhir sidang 
Jenewa tidak berhasi lmenyusun rancangan pasal-pasal berupa naskah 
konvensi (draft convention), akhirnya Pimpinan Konferensi 
mengambil alih dan memerintahkan Ketua dari masing-masing Komite 
merumuskan rancangan pasal-pasal itu dalam waktu beberapa hari. Tugas 
ini dapt diselesaikan dan sidang ketiga dapat diakhiri dengan apa yang 
disebut Informal Single Negotiating Text (ISNT) sebagai hasil laporan dari konferensi.
Selanjutnya, dalam sidang keempat, di New York 1976 dilakukan revisi ISNT. Dalam Revise Informal Single Nogotiating Text tersebut juga tercantum pasal-pasal mengenai negara kepulauan.
Dan
 akhirnya, dalam sidang ke 10 yang dilangsungkan di Markas Besar 
Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York naskah akhir dari Konferensi Hukum 
Laut tersebut disetujui pada tanggal 30 April 1982 dengan perbandingan 
suara 130 setuju, 4 menentang dan 17 abstain.5
BAGIAN III
KONVENSI PERSERIKATAN-BANGSA-BANGSA
TENTANG HUKUM LAUT (III) 1982
BAB VII
BERLAKUNYA KONVENSI HUKUM LAUT 1982
Konvensi
 Hukum Laut III 1982 (KHL III 1982) dibuka bagi penandatanganan pada 10 
Desember 1982 di Montego Bay Jamaica. Pada pembukaan penandatanganan 
ini, KHL III 1982 ditandatangani 117 negara dan dua badan lain (bukan 
negara).1 Konvensi akan berlaku 12 bulan setelah penyimpanan 
instrument ratifikasi atau aksesi yang ke-60 pada Sekretaris Jendral 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pasal 308 (1) UNCLOS).
KHL III 1982 ini merupakan a moment of modern international law-making history in the true sense of the world.2
 Sebagai monument hukkum internasional modern, KHL III 1982 tersebut 
sangat penting artinya bagi masyarakat Internasional terkait dengan 
pengaturan laut. Persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam 
konferensi-konferensi hokum laut sebelumnya, sejak 1930 seperti 
persoalan pembakuan lebar laut wilayah telah dipecahkan oleh konvensi 
ini. Konvensi ini juga member keseimbangan kepentingan antara 
kepentingan negara-negara pantai dan kepentingan negara-negara maju. 
Rejim negara kepulauan, laut wilayah, jalur tambahan, landas kontinen, 
zona ekonomi eksklusif memberikan jaminan terhadap kepentingan 
negara-negara pantai. Sebaliknya, lintas damai, lintas transit melalui 
selat yang dipergunakan bagi pelayanan internasional, rejim lintas alur 
kepulauan dan rute penerbangan di atas alur kepulauan serta kebebasan 
pelayaran, penerbangan dan pemasangan kabel bawah laut di atas zona 
eksklusif memberikan jaminan atas kepentingan negara-negara maritime 
yang umumnya merupakan negara-negara maju.
Secara garis besar Konvensi memuat beberapa hal penting, yaitu:3
·       Negara-negara
 pantai memiliki kedaulatan teritorial sampai 12 mil, tetapi kapal-kapal
 asing diizinkan melakukan lintas damai melalui perairan tersebut;
·       Kapal
 dan pesawat udara dari semua negara diizinkan melakukan lintas transit 
melalui selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional, 
negara-negara yang terletak di sepanjang selat bias mengatur navigasi 
dan segi-segi lintas lainnya;
·       Negara-negara
 kepulauan adalah negara yang terdiri dari satu kelompok atau 
kelompok-kelompok pulau yang saling berhubungan memiliki kedaulatan atas
 laut wilayah yang tertutup oleh garis selat dari kepulauan tersebut; 
negara lain berhak melakukan lintas di garis yang ditetapkan.
·       Negara-negara
 pantai memiliki hak berdaulat atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil
 laut dalam hubungannya dengan sumber-sumber alam dan kegiatan-kegiatan 
ekonomi tertentu, dan juga memiliki yurisdiksi atas riset ilmiah 
kepulauan dan perlindungan lingkungan. Negara-negara lain memiliki 
kebebasan penerbangan di atas kawasan tersebut serta kebebasan 
meletakkan kabel bawah laut dan jaringan pipa. Negara-negara yang hanya 
dikelilingi daratan dan letak geografisnya tidak menguntungkan memiliki 
kesempatan turut mengeksploitasi bagian penangkapan ikan berdasarkan 
prinsip sederajat bila negara pantai tidak dapat melakukannya sendiri. 
Spesie ikan yang tingkat perpindahannya tinggi dan binatang-binatang 
laut menyusui akan dilindungi secara khusus.
·       Negara-negara
 pantai memiliki hak berdaulat atas eksploitasi dan eksplorasi landas 
kontinen. Landas kontinen ini sekurangnya 200 mil dari garis pangkal, 
dan dalam keadaan tertentu dapat lebih jauh. Negara-negara pantai 
berbagi dengan masyarakat internasional dari bagian yang mereka peroleh 
dari pengelolaan sumber kekayaan alam yang berasal dari dasar laut dalam
 yang berada di luar batas 200 mil. Komisi mengenai batas-batas Landas 
Kontinen akan memberikan rekomendasi kepada negara-negara mengenai batas
 di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE).
·       Semua
 negara menikmati kebebasan pelayaran tradisional, lintas penerbangan, 
penelitian ilmiah dan penagkapan ikan di laut bebas, dan wajib 
bekerjasama dengan negara-negara lain untuk mengelola dan melestarikan 
sumber-sumber hayati.
·       Laut
 wilayah, ZEE dan landas kontinen dari kepulauan akan ditentukan sesuai 
dengan ketentuan yang bias diterapkan atas wilayah daratan, tetapi 
karang tak dapat menampung habitat manusia atau kehidupan ekonomi mereka
 sendiri, tidak memiliki ZEE dan landaus kontinen;
·       Negara-negara
 yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup diharapkan 
bekerjasama dalam pengelolaan sumber-sumber daya hayati dan dalam 
kebijakan dan kegiatan lingkungan dan penelitian;
·       Negara-negara
 yang dikelilingi hanya oleh daratan memiliki hak akses ked an dari 
laut, dan bebas melakukan transit melalui negara-negara transit;
·       Semua
 kegiatan eksploitasi dan eksplorasi di wilayah dasar laut internasional
 berada di bawah kekuasaan Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority)
 yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini. Otorita ini 
akan diberi wewenang untuk melaksanakan operasi pengembangaannya sendiri
 melalui badan operasionya, Enterprise, dan juga melaksanakan 
kontrak dengan perusahaan-perusahaan swasta dan negara-negara untuk 
memberikan kepada mereka hak penambangan di wilayah tersebut sehingga 
mereka dapat beroperasi sejalan dengan Otorita tersebut. generasi 
penambang dasar laut pertama, pioneer investor, akan memiliki jaminan produksi jika wewenang itu sudah diberikan.
·       Negara-negara
 terikat untuk mencegah dan mengendallikan pencemaran laut dan dapat 
dituntut atas kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran 
kewajiban-kewajiban mereka untuk memerangi pencemaran seperti itu.
·       Semua
 penelitian ilmiah ZEE dan landas kontinen harus disetujui oleh 
negara-negara pantai, tetapi dalam banyak hal kegiatan seperti itu akan 
memperoleh persetujuan jika penelitian ini dilakukan untuk tujuan damai 
dan memenuhi criteria tertentu;
·       Negara-negara
 terikat untuk menggalakkan pembangunan dan alih teknologi laut 
“berdasarkan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang adil dan masuk 
akal” dengan memperhatikan secara seksama semua kepentingan yang sah;
·       Negara-negara
 berkewajiban menyelesaikan sengketa mereka secara damai sejauh 
menyangkut penafsiran atau penerapan Konvensi; sengketa dapat diajukan 
kepada Pengadilan International untuk Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea)
 yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini, kepada Mahkamah
 Internasional, atau kepada badan arbitrasi. Juga dapat dilakukan 
melalui konsiliasi, dan dalam keadaan tertentu kepatuhan kepada 
konsiliasi merupakan keharusan.
Namun,
 sekalipun memberikan keseimbangan jaminan kepentingan antar 
negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, KHL 1982 dianggap 
oleh sebagian pakar sebagai terlalu ambisius dan tidak akan tercapai. 
Sikap apatis ini kelihatannya hamper menjadi kenyataan mengingat sampai 
10 tahun setelah dibukanya penandatanganan Konvensi, Konvensi belum juga
 dapat diberlakukan. Menurut data di Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai 
dengan 31 Maret 1992 Konvensi ini baru diratifikasi oleh 51 negara.4
Keraguan ini ditolak TTB Koch dengan mengemukakan alas an-alasan sebagai berikut:5
·      Konvensi
 akan mendorong pemeliharaan perdamaian dan keamanan sebab Konvensi akan
 menggantikan banyak sekali tuntutan yang saling bersaing oleh 
negara-negara pantai yang secara universal menyetujui batas-batas laut 
wilayah, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
·      Kepentingan
 masyarakat dunia dalam kebebasan pelayaran akan dipermudah oleh 
kompromi-kompromi penting atas zona ekonomi eksklusif, oleh rezim lintas
 damai melalui laut wilayah, dan rejim lintas transit melalui selat yang
 dipergunakan untuk pelayaran internasional dan oleh rezim lintas alur 
kepulauan.
·      Kepentingan
 masyarakat dunia dalam pelestarian dan penggunaan optimum sumber-sumber
 daya hayati laut dengan penerapan secara sadar ketentuan-ketentuan 
dalam Konvensi yang berkaitan dengan zona ekonomi eksklusif.
·      Konvensi memuat aturan-aturan baru yang penting bagi pelestarian dan perlindungan lingkungan laut dari pencemaran.
·      Konvensi
 memuat aturan-aturan mengenai penelitian ilmiah yang memberikan 
keseimbangan antara negara-negara yang melakukan penelitian dan 
kepentingan negara-negara pantai di zona ekonomi eksklusif atau landas 
kontinen tempat dilakukan penelitian tersebut.
·      Kepentingan
 masyarakat dunia dengan penyelesaian secara damai dan diajukan 
pencegahan penggunaan kekerasan di antara negara-negara dengan system 
penyelesaian sengketa yang bersifat wajib dalam Konvensi.
·      Konvensi
 berhasil menerjemahkan asa bahwa sumber daya alam dasar laut dalam 
merupakan warisan bersama umat manusia ke dalam institusi yang adil(fair) dan dapat dilaksanakan (workable).
·      Walaupun belum ideal, namun kita dapat menemukan unsure-unsur keadilan (equity)
 internasional dalam Konvensi seperti pembagian hasil atas landas 
kontinen di luar 200 mil, pemberian akses kepada negara-negara yang 
tertutup daratan dan negara-negara yang secara geografis tidak 
menguntungkan atas sumber daya hayati ZEE dan negara-negara tetangga 
mereka, hubungan nelayan pantai (coastal fisheries) dan nelayan perairan yang jauh dari pantai (distant water fisheries), dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi sumber laut dalam.
Penolakan Koch tersebut menjadi kenyataan, yakni dengan penyimpanan (depository)
 instrument ratifikasi ke-60 KHL 1982 pada Sekretaris Jendral 
Perserikatan Bangsa-Bangsa 16 Nopember 1993. Dan, sesuai dengan 
ketentuan pasal 308 (1), maka 1 tahun kemudian, 16 Nopember 1994 KHL III
 1982 yang terdiri dari 320 pasal dan 9 lampiran tersebut berlaku bagi 
masyarakt internasional.6
BAB VIII
PEMBAGIAN KAWASAN LAUT
MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT III 1982
KHL
 1982 membagi kawasan laut atas perairan pedalaman dan perairan 
kepulauan, laut wilayah, jallur tambahan, landas kontinen, ZEE, dasar 
laut dalam (deep seabed) dan laut bebas.
A. Perairan Pedalaman
Perairan
 pedalaman adalah perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal. 
Garis pangkal adalah tempat mulai siukurnya laut wilayah wilayah, jalur 
tambahan, landas kontinen, ZEE.
Berbeda dengan kedaan sebelumnya yang membedakan garis pangkal atas garis pangkal biasa (normal baseline) dan garis pangkal lurus (straight baseline), maka KHL 1982 membedakan garis pangkal atas garis pangkal biasa, garis pangkal llurus, dan garis pangkal kepulauan (archipelagic straight baseline).
Garis pangkal biasa adalah garis pangkal yang ditetapkan berdasarkan garis atau titik air rendah (low water line/low water mark) di sini tidak aka nada perairan pedalaman dan perairan kepulauan.
Garis
 pangkal lurus adalah garis tegak lurus yang ditarik dari titik-titik 
yang menghubungkan ujung pulau-pulau yang menghubungkan pulau-pulau di 
sekitar pantai, lekukan (teluk) atau sungai, tempat mulai diukurnya laut
 wilayah, jalur tambahan, landas kontinen, ZEE. Bagian perairan yang 
terletak di sisi dalam garis pangkal, atau di sisi yang menuju kea rah 
darat disebut perairan pedalaman. Menurut KHL 1982, ada beberapa keadaan
 yang menimbulkan laut pedalaman, yaitu:
a.       Dalam
 garis pantai menjorok jauh ke dalam jika terdapat daratn pulau 
sepanjang pantai di dekatnya, dapat ditarik garis pangkal lurus di 
antara titik-titik tertentu di antara titik-titik atau pulau-pulau itu 
(Pasal 7). Garis pangkal llurus ini harus mengikuti arah umum pantai. 
Dan, perairan kea rah darat ini menjadi perairan pedalaman.
b.      Dalam hal garis pantai  menjorok
 jauh ke dalam sehingga mungkin untuk menetapkan laut yang tertutup 
daratan (seperti dalam kasus teluk yang diameternya lebih besar dari 
setengah lingkaran yang sesuai dengan garis penutup mulut lekukan 
(teluk). Penetapan garis penutup tersebut tidak boleh melebihi 24 mil 
laut (pasal 10). Perairan kea rah darat ini memiliki status perairan 
pedalaman.
c.       Pada
 sungai yang mengalir langsung ke laut, dapat ditarik garis pangkal yang
 memotong mulut sungai di antara garis air rendah dari tebing-tebingnya.
Pada
 perairan pedalaman negara pantai memiliki kedaulatan mutlak terhadap 
perairannya sendiri, tanah dan dasar laut di bawahnya serta ruang udara 
di atasnya,kecuali apabila di dalam perairan itu terdapt selat yang 
digunakan untuk pelayaran internasional. Di selat ini berlaku rezim 
hokum hak lintas damai seperti yagn berlaku pada laut wilayah.
Garis
 pangkal kepulauan adalah garis tegak lurus yang ditarik dari ujung 
terluar pulau terluar dari kelompok pulau-pulau pada negara kepulauan, 
sebagai tempat mulai diukurnya laut wilayah, jalur tambahan landas 
kontinen, ZEE. Bagian perairan yang terletak di sisi dalam garis 
pangkal, atau di sisi yang menuju kea rah darat disebut perairan 
kepulauan.
Negara
 kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari kepulauan satu 
atau lebih dengan ketentuan bahwa pulau-pulau utama yang berada dalam 
garis pangkal tersebut memiliki perbandingan air dengan darat tidak 
melebihi 9:1, dengan panjang garis pangkal ini tidak boleh lebih dari 
100 mil, kecuali tiga persennya boleh sampai 125 mil laut. Garis pangkal
 kepulauan ini tidak boleh menyimpang jauh dari konfigurasi umum 
kepulauan (pasal 47).
Berbeda
 dengan perairan pedalaman, perairan kepulauan tunduk kepada rejim 
khusus yang berkaitan dengan pelayaran dan penerbangan.1 Di perairan kepulauan kapal-kapal asing memiliki hak lintas kepulauan (archipelagic passage) melalui alur laut kepulauan (archipelagic sea-lane), dan hak penerbangan di atas alur kepulauan atau disebut lintas rute penerbangan (air route passage).
 Alur-alur kepulauan tersebut harus ditetapkan oleh negara kepulauan. 
Jika tidak, maka berlaku alur yang biasa digunakan bagi pelayaran 
internasional (pasal 53). Sedangkan untuk selat-selat yang biasanya 
digunakan untuk pelayaran internasional, tunduk pada rezim lintas 
transit.
B. Laut Wilayah
Laut
 wilayah adalah bagian laut selebar 12 mil diukur dari garis pangkal. 
Konvensi memuat secara rinci keadaan khusus yang berkaitan dengan 
penetapan garis pangkal terkait dengan laut wilayah, yaitu garis pangkal
 dapat ditetapkan dari:
a.       Bagian terluar instalasi pelabuhan yang permanen yang merupakan bagian integral dari system pelabuhan;
b.      Tempat berlabuh di tengah laut (roadsteds)
 yang biasanya dipakai untuk memuat,membongkar dan menambat kapal dan 
yang seluruh atau sebagiannya terletak di luar batas laut wilayah, 
termasuk ke dalam laut wilayah;
c.       Elevasi surut2
 yang seluruhnya atau sebagiannya terletak pada suatu jarak yang tidak 
melebihi lebar laut wilayah dari daratan utama atau pulau; selevasi 
surut ini dapat dijadikan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran 
lebar laut wilayah.
Negara
 pantai memiliki kedaulatan penuh atas laut wilayahnya, termasuk dasar 
laut dan tanah di bawahnya. Namun, berbeda dengan perairan pedalaman, 
laut wilayah tunduk pada rejim lintas damai bagi kapal asing (Pasal 17).
Menurut
 Pasal 19 (1) KHL III 1982, suatu lintas dikatakan damai jika tidak 
merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Lintas
 ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan 
hokum internasional lainnya. Selanjutnya, dalam Pasal 19 (2) dinyatakan 
bahwa lintas kapal asing harus dipandang membahayakan perdamaian, 
ketertiban atau keamanan negara pantai jika kapal tersebut melakukan 
salah satu dari kegiatan-kegiatan berikut:
a.       Ancaman
 atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau 
kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang 
merupakan pelanggaran asas hokum internasional sebagaimana tercantum 
dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
b.      Setiap latihan atau praktik senjata apa pun;
c.       Setiap perbuatan yang bertujuan mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;
d.      Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;
e.       Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal;
f.       Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peraltan dan perlengkapan militer;
g.      Bongkar
 atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang bertentangan dengan 
peraturan perundang-undangan beacukai, fiscal, imigrasi atau saniter 
negara pantai;
h.      Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah bertentangan dengan Konvensi ini;
i.        Setiap kegiatan perikanan;
j.        Setiap kegiatan survey
 Home
Home 
 
Maaf saya mau minta izin copy tulisannya untuk bahan kuliah trima kasih sebelumnya
BalasHapusoke... Sama-sama....
BalasHapusSumber dri buka kah
BalasHapus